Ahad 03 Feb 2019 10:29 WIB

Menguji Rasionalitas dengan Pengumuman Caleg Koruptor

Pengumuman caleg koruptor belum tentu memberi efek keterpilihan parpol.

Bayu Hermawan
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya merilis calon anggota legislatif dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pernah menyandang predikat sebagai koruptor. Sebanyak 40 orang caleg yang tersebar di 12 parpol peserta pemilu, dan sembilan orang calon anggota. Setelah melalui pro dan kontra, menarik ditunggu akankah kebijakan dari KPU ini punya dampak bagi parpol atau caleg yang namanya tercantum dalam daftar itu di pemilu mendatang, atau justru masyarakat akan menganggap sepi saja?

Bisa dikatakan, KPU pada periode pemilu kali ini, merupakan versi yang paling 'ramai'. Jika kita tenggok ke belakangan, beberapa kali kebijakan yang diambil oleh KPU menimbulkan kegaduhan, minimal di pemberitaan media massa. Sebut saja mulai dari orang dengan gangguan kejiwaan yang bisa menyalurkan hak pilih, hingga polemik kotak suara kardus. Namun boleh dikatakan, kebijakan KPU soal caleg mantan napi kasus korupsi yang paling menarik untuk diikuti.

Sejak awal, KPU periode ini memang sudah menunjukan sikap tidak ramah dengan para mantan koruptor, yang ingin kembali menjadi wakil rakyat. Hal itu terlihat dari lahirnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pasal 4 ayat 3 Nomor 20 tahun 2018, yang melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota DPR. KPU juga menggunakan Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD yang juga melarang eks koruptor maju sebagai caleg DPD.

Merasa dijegal, eks napi korupsi kemudian beramai-ramai menggugat ke Bawaslu, hingga akhirnya lembaga tersebut mengizinkan eks napi korupsi untuk maju di pemilu, dengan berpatokan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang tidak menyebutkan larangan eks koruptor untuk menjadi wakil rakyat. KPU sempat bersikeras untuk melarang mantan koruptor kembali menjadi wakil rakyat, hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. KPU pun akhirnya harus puas hanya bisa mengumumkan para caleg yang merupakan mantan koruptor.

Secara pribadi, saya mengapresiasi kegigihan KPU memperjuangkan sikapnya agar kertas suara pemilu bersih dari orang-orang yang pernah menjadi pencuri uang rakyat. Meski gagal, minimal KPU telah berusaha keras untuk melakukan tindakan preventif, sehingga jika nantinya ada wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi, KPU bisa bebas dari tudingan jika penyelenggara pemilu tidak melakukan pencegahan korupsi dari hulu.

Apresiasi juga pantas diberikan untuk keberanian KPU akhirnya mengumumkan siapa  saja dan dari parpol mana saja caleg mantan koruptor berasal. Yang dilakukan KPU, selain merupakan hal baru bagi penyelenggara pemilu untuk ikut aktif terlibat 'mengobati' penyakit korupsi yang semakin kronis, juga merupakan pencerahan bagi masyarakat. Meski tidak diumumkan melalui speaker-speaker masjid dan mushola di pelosok wilayah Indonesia, setidaknya masyarakat telah punya satu modal informasi penting saat menuju bilik suara untuk menyalurkan hak pilihnya. Masyarakat hanya tinggal mengingat, apakah di daerah mereka ada mantan koruptor yang ingin mendapatkan suara agar bisa mewakili mereka baik di tingkat DPR pusat atau kabupaten dan kota.

Nah, pertanyaannya, apakah dengan diumumkannya nama-nama tersebut bisa menjamin eks koruptor tak terpilih atau parpol yang mengusung mereka akan anjlok perolehan suaranya di pemilu nanti? buat saya, itu hal yang berbeda, bahkan bukan tidak mungkin tak ada efeknya sama sekali. Bukan tidak mungkin masyarakat hanya menyambut dengan jawaban 'Oo gitu' atau 'Oo si fulan ternyata pernah jadi napi korupsi' lalu kemudian masyarakat akan melupakan hal itu, dan saat pencoblosan nanti tidak ingat sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh KPU sebelumnya.

Mengapa?

Saya melihat, yang paling besar mempengaruhi masyarakat dalam pemilu adalah secara psikologi sosial. Artinya, seseorang mencoblos agar dianggap telah menunaikan kewajibannya sebagai warga negara. Masih banyak anggapan bahwa menjadi golput adalah 'dosa' kepada negara, sehingga yang terjadi seseorang tidak lagi menjadi kritis tentang siapa caleg yang ada dikertas suara, yang penting masuk TPS, mencoblos dan kemudian bangga dengan jari berwarna biru sebagai tanda sudah menyalurkan hak suara.

Kemudian dari tipe pemilih, belum tentu semua masyarakat adalah tipe pemilih yang rasional dan kritis, artinya mereka benar-benar melihat secara personal apa program yang ditawarkan caleg, apakah program itu masuk akal, bagaimana rekam jejak caleg serta background parpol yang mengusungnya.

Justru yang saat ini terlihat adalah kecenderungan banyaknya tipe pemilih tradisional,  yang mereka tahu adalah mendukung satu parpol tertentu dan tak peduli siapa caleg yang diusungnya. Tipe pemilih tradisional ini bisa dikatakan tidak berkurang dan mungkin bertambah. Terlebih dengan sistem pemilu serentak kali ini dimana seorang pemilih harus direpotkan mencoblos pasangan capres, parpol, caleg dan DPD sekaligus dalam bilik suara nanti.

Sebagai contoh, dari pemilu periode sebelumnya, saya punya pengalaman, mungkin anda juga punya pengalaman yang sama, ketika bertemu dengan tetangga atau kawan di TPS, saya sering iseng-iseng bertanya, "Tadi pilih caleg siapa?", mayoritas jawaban yang saya dapat adalah "ah siapa aja, yang penting pilih partai A atau B,". Artinya, jika mengacu pada pengalaman dan hal tersebut diatas, maka bukan tidak mungkin pengumuman nama caleg mantan napi koruptor kurang berefek besar, khususnya bagi elektabilitas parpol-parpol.

Meski KPU rencananya akan mengumumkan juga nama-nama mantan koruptor di TPS, namun tetap saja menurut saya hal itu kurang berefek. Tetapi kalau caleg-caleg tersebut diberi tanda khusus di surat suara mungkin efeknya akan terasa.

Terlepas dari itu semua, sekali lagi saya mengapresiasi niat baik KPU untuk menjegal atau minimal membuat caleg mantan koruptor tidak tenang hingga masa pengumuman hasil perhitungan suara pemilu dilakukan nantinya. Tentunya apa yang dilakukan KPU periode ini harus bisa menjadi modal bagi KPU periode berikutnya. Tentunya agar mereka semakin berani dalam ikut mencegah korupsi. Kita boleh berharap semua pihak pun mendukung jika dalam pemilu berikutnya kerta suara bersih dari nama-nama orang yang pernah menjadi pencuri uang rakyat.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

 

photo
Caleg mantan napi korupsi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement