Ahad 03 Feb 2019 07:03 WIB

Menyegarkan Pemahaman Negara Adil Ibnu Taimiyah

Ketika pemimpin negara menaati aturan maka dia sudah berlaku adil.

Pemimpin yang adil dan menepati janji/ilustrasi
Foto: static.hbr.org
Pemimpin yang adil dan menepati janji/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurizal Ismail, Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID

Ibnu Taimiyah atau lengkapnya Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (1263-1328) merupakan cendekiawan bermazhab Hanbali. Pria kelahiran Harran Suriah ini dikenal dengan julukan ‘syaikhul Islam’. Karya-karyanya seperti Majmu’ Fatawa, As-siyasah as-syar’iyyah fi islah ar-ra’i wa ar-ra’iyyah dan Al-hisbah fi al-islam sering dijadikan rujukan dalam ilmu politik dan ekonomi.

Dalam Republika (22/01/2019) Buya Syafii Ma’arif mengutip pendapat Ibnu Taimiyah tentang negara yang adil. “Wa inna Allah yuqimu ad-daulat al-‘adilah wa in kanat kafirah wa la yaqumu al-dhalimah wa in kanat muslimah.”

Kemudian mengartikannya dengan “Dan Allah membiarkan negara yang adil bertahan sekalipun dipimpin oleh orang kafir; dan (Dia) tidak membiarkan (negara) zalim untuk bertahan sekalipun dipimpin oleh penguasa Muslim.” Pendapat ini sering digunakan untuk menjustifikasi kebolehan dalam memilih pemimpin non-Muslim.

Kalimat tersebut bisa kita dapatkan dalam karya-karya Ibnu Taimiyah, seperti Majmu Fatawa (juz 28/146) dan al-Hisbah fil Islam (Darul Kutub Ilmiyyah/7). Syaikhul Islam menulis, dalam memilih pemimpin ada dua syarat yang penting: kekuatan dan amanah.

Dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah (1418 H: 13), kekuatan yang pertama adalah pada aspek fisik, seperti mampu memimpin perang. Kedua, yaitu kekuatan dalam hukum di antara manusia yang harus memiliki ilmu keadilan yang merujuk pada kitab dan sunah.

Adapun amanah harus merujuk kepada takut kepada Allah dan tidak takut kepada manusia, siapa pun. Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa ia mengharuskan kita untuk memilih pemimpin Muslim dengan karakter tersebut. Karena kalau bukan Muslim, bagaimana ia mau merujuk kepada kitab, sunah, dan takut kepada Allah?

Selanjutnya, penulis melihat apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah itu untuk mempertegas bahwa para pemimpin Islam harus berlaku adil. Tujuannya untuk keberlangsungan negara. Adalah dosa besar dalam Syariat Islam ketika seorang pemimpin tidak berlaku adil.

Adapun ia mencontohkan kepada negara kafir dan adil yang akan eksis, bahkan berumur panjang karena keadilan, itu berlaku sebaliknya. Dalam penjelasan lain di kitab al-Hisbah fil Islam Syaikhul Islam menekankan kepada ketaatan kepada Allah dan Rasulnya (Nabi Muhammad), yaitu menjalankan hukum-hukumnya yang bersumber dari Alquran dan sunah.

Dengan demikian, ketika suatu negara dipimpin oleh orang yang taat kepada aturan syariat, dia akan berlaku adil dan akan membawanya kepada negara yang sejahtera. Hal ini juga diuraikan Ibnu Khaldun dalam teori kebangkitan dan runtuhnya sebuah negara.

Selanjutnya seperti apakah negara yang adil menurut Ibnu Taimiyah? Abdul Azim Islahi (1980), profesor ekonomi Islam di Universitas King Abdul Aziz dalam disertasinya menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah memandang keadilan sebagai dasar kehidupan di dunia. Tanpanya, manusia tidak akan sukses menjalani kehidupan.

Dalam konteks hukum, ia merujuk kepada surah an-Nisa, 58:”...dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...” Ia memerintahkan para pemimpin untuk berlaku adil dalam hukum pidana dan perdata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement