Kamis 31 Jan 2019 21:21 WIB

Uji Materi GPS ke MK Minim Dukungan

Pengendara transportasi daring sangat terdampak aturan tersebut.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kuasa Hukum Toyota Soluna Community (TSC), Ade Manansyah, prihatin dengan sikap pengusaha transportasi daring yang seolah tidak peduli dengan uji materi aturan berkendara dengan menggunakan telepon genggam (handphone). Padahal, pengendara transportasi daring atau ojek online (ojol) sangat terdampak aturan tersebut.

"Pihak perusahaan ojol tidak seperti tidak peduli dengan apa yang sudah kami lakukan. Padahal ini kan menyangkut mitranya saat bekerja di lapangan," ujar Ade ketika dikonfirmasi Republika, Kamis (31/1).

(Baca: MK Tolak Uji Materi GPS, Komunitas Mobil Kecewa)

Sebagaimana diketahui TSC mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal ini berbunyi 'setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.'

Adapun penjelasan 'penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan.

Oleh sebab itu, kata 'menggunakan telepon' di pasal di atas dinilai tidak tepat dan multitafsir. Sebab, aturan itu tidak relevan dengan perkembangan zaman karena telepon genggam kini sudah mengalani perkembangan, salah satunya munculnya teknologi Global Positioning System (GPS).

"Yang dimaksud dengan menggunakan telepon, apakah menggunakan untuk berkomunikasi atau untuk menggunakan GPS.Teknologi GPS dapat digunakan keperluan sesuai tujuannya. GPS dapat digunakan oleh peneliti, olahragawan, petani, tentara, pilot, petualang dkk," jelas TSC sebagaimana dikutip dari materi gugatan yang diunggah pada laman resmi MK.

Selain itu, TSC juga menggugat Pasal 283 yang mengatur ketentuan pidana atas larangan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. Pada pasal 283 diatur sanksi dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp750.000.

Menurut Ade, saat mengajukan gugatan uji materi, TSC tidak mendapatkan dukungan dari pihak lain. "Kami murni melakukan uji materi dari pribadi para driver ojol , komunitas otomotif, serta TSC. Jadi murni zero, sehingga kami terkendala saat akan mendatangkan saksi ahli. Sedangkan pihak kepolisian dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendatangkan ahli sampai lebih dari tujuh orang," ungkap Ade.

Melihat tidak adanya dukungan dan putusan MK yang menolak gugatan uji materi itu, TSK merasa sangat kecewa. Sebab, GPS sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat.

"Bukan hanya untuk pengemudi ojol saja. Masyarakat juga membutuhkan GPS," tegasnya.

MK pada akhirnya memutuskan menolak gugatan uji materi tersebut. Majelis hakim MK menilai, penggunaan GPS tidak dapat dilarang sepanjang tidak mengganggu konsentrasi pengemudi selama berlalu lintas.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Tidak ada persoalan inkonstitusionalitas terkait penjelasan pasal tersebut. Dengan demikian dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (30/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement