Kamis 31 Jan 2019 06:19 WIB

Badan Khusus Integrasi Harus di Bawah Presiden

RITJ dinilai jadi acuan para kepala daerah menyusun rencana integrasi transportasi

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bilal Ramadhan
Bus Transjakarta saat akan mengangkut penumpang di Halte Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (3/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Bus Transjakarta saat akan mengangkut penumpang di Halte Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi yang juga akademisi Teknik Sipil Universitas Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menyarankan adanya badan otoritas yang mengelola integrasi transportasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hal itu seiring dengan rencana integrasi transportasi dan tata ruang di wilayah-wilayah itu.

“Kalau (dibentuk) badan, ditarik dari Kementerian Perhubungan dikeluarkan, dia setingkat menteri,” jelas Djoko kepada Republika, Rabu (30/1).

Badan otoritas tersebut nantinya akan seperti badan-badan lain yang saat ini telah terbentuk di tingkat nasional. Dia mencontohkan, badan otoritas yang sebaiknya dibentuk adalah semacam Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Meterorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Dia berharap, adanya badan itu akan memberikan otoritas di bawah presiden langsung. Kewenangannya, bisa mengatur transportasi di wilayah Jabodetabek, mencangkup tata ruangnya.

Dia pesimistis bila perencanaan dan pelaksanaan pembangunan integrasi transportasi Jabodetabek akan diberikan kepada salah satu gubernur, yaitu Gubernur DKI Jakarta. Kalau di bawah gubernur nanti, kan ada yang wilayahnya di bawah Gubernur Banten, ada wilayah Gubernur Jawa Barat.

“Dan kemungkinan akan bertentangan dengan undang-undang pemerintah daerah tersebut,” jelas dia.

Dia yang juga mantan wakil ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu juga menyayangkan atas peleburan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) ke dalam bagian dari Kementerian Perhubungan RI. Hal itu membuat BPTJ saat ini tak memiliki kewenangan penuh, sehingga berdampak kepada pengelolaan hanya transportasi dan tak mencangkup tata ruang.

Padahal, menurut dia, kajian-kajian transportasi Jabodetabek saat ini muncul dari BPTJ. Hal itu terbentuk dalam sebuah dokumen yang disebut Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).

RITJ itu, kata dia, telah dikukuhkan dalam sebuah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018, tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Tahun 2018-2029.

“Itulah yang menjadi acuan BPTJ untuk wilayah Jabodetabek. Target  2019 itu 40 persen akan beralih ke transportasi umum. Target 2029, 60 persen. Jadi itu sudah dibuat BPTJ,” jelas dia.

 

Tak Mau Berspekulasi

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono menjelaskan, apa yang telah dipaparkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah sesuai dengan apa yang ada dalam RITJ.

“Kalau Pak Anies-nya sesuai dengan kebutuhannya Pemprov DKI. Yang disampaikan oleh Pak Anies itu sudah sesuai dengan RITJ 2018-2029,” kata Bambang kepada Republika, Rabu (30/1).

Anies, menurut Bambang, telah menyebut perihal Transit Oriented Development (TOD) di titik Dukuh Atas dan juga TOD Manggarai. Serta perihal integrasi kereta Lintas Rel Terpadu (LRT) dan kereta Moda Raya Terpadu (MRT). Hal-hal itu, kata dia, telah sesuai dengan RITJ yang telah ada.

Bambang menuturkan, RITJ merupakan acuan bersama para kepala daerah untuk menyusun rencana integrasi transportasi berdasarkan urban-infrastructure atau infrastruktur perkotaan. RITJ bukan berarti hanya menjadi kewenangan Kementerian Pusat atau BPTJ saja.

“Itu juga ada kewenangannya Pemprov DKI. Kewenangannya Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, dan Tangerang,” ujar Bambang.

Dia tak ingin berspekulasi terkait nasib BPTJ ke depannya. Menurutnya, pihaknya akan fokus menerapkan RITJ terlebih dahulu. “Nanti kita tunggu ya. Karena BPTJ kan sebetulnya sudah punya RITJ. Saya sebagai yang mewakili BPTJ fokus dulu lah terhadap implementasi RITJ itu,” ujar Bambang.

Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menuturkan perencanaan itu nantinya akan diaplikasikan B to B, artinya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dia pun memastikan, perencanaan integrasi transportasi dan tata ruang yang nantinya diajukan akan dipatuhi oleh Pemerintah Pusat.

“(Perencanaan) Ditentukan oleh Pemprov, betul (Pusat ikut),” jelas Anies, Senin (28/1) lalu.

Hal itu, kata dia, tertuang dalam aturan perundang-undangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah) provinsi.

Anies juga diberikan waktu satu bulan untuk melakukan perencanaan pembangunan integrasi transportasi dan tata ruang. Secara umum, pada pertemuan rapat dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dan beberapa kepala daerah lain pada Senin (28/1) lalu, mereka menyepakati akan membangun transportasi terintegrasi secara masif dan cepat.

“Kalau Jakarta ingin menjadi kuat, menjadi ibukota yang efisien, maka diperlukan transjakarta yang bisa menjangkau 2.149 km. Hari ini kita baru 1.100 km. Artinya armadanya harus ditambah,” kata Anies.

Ia melanjutkan, pembangunan transportasi pun meliputi kereta Lintas Rel Terpadu (LRT) yang saat ini hanya 5,8 km, akan dibutuhkan untuk menjangkau lebih dari 130 km. Kereta Moda Raya Terpadu (MRT) yang hari ini baru menjangkau 16 km, harus dibangun sampai 112 km.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement