REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui pemerintah Indonesia belum menjadikan vaksin demam berdarah dengue (DBD) ke dalam program nasional. Kementerian Kesehatan menyatakan saat ini vaksin DBD masih harus melalui fase kajian-kajian seperti efektivitas hingga keamanannya.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengakui vaksin DBD memang sudah ada di Tanah Air dan dibuat perusahaan farmasi PT.Sanofi Pastuer.
"Tetapi untuk memasukkan vaksin DBD ke dalam program nasional tidaklah mudah karena harus melalui kajian seperti efektivitasnya apakah itu untuk seumur hidup, kemudian keamanannya, dan sebagainya," katanya saat konferensi pers update DBD, di Jakarta, Rabu (29/1).
Apalagi, dia menambahkan, pihaknya mengaku belum mendapatkan rekomendasi dari ahli seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk menjadikan vaksin DBD di program nasional seperti imunisasi campak rubela (measles rubella/MR) karena baru memberikan efek perlindungan untuk mencegah mengalami DBD fase berat seperti syok (penurunan kesadaran).
"Jadi bukan sama sekali tidak dapat dan orang (yang sudah vaksin DBD) masih bisa terinfeksi DBD," ujarnya.
Apalagi, dia mengklaim, jumlah angka kematian akibat DBD belum tinggi selama tidak terlambat ditangani. Karena itu, ia menambahkan, cara yang paling efektif mencegah DBD adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seperti membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang membawa virus dengue yang menjadi penyebab DBD.
Di tempat yang sama,Ketua Divisi Infeksi dan Pediatrikl Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM FKUI Mulya Rahma Karyanti membenarkan, vaksin hanya mencegah DBD menjadi lebih berat yaitu kebocoran pembuluh darah terjadi yang bisa membuat penurunan kesadaran (syok) hingga meninggal.
"Vaksin DBD yang telah diuji ternyata bisa mencegah DBD yang berat dan bisa menekan sampai 88 persen pembiayaan pengobatan DBD," ujarnya.
Ia menyebut rentang biaya perawatan penderita DBD per orang atau anak tidak sedikit yaitu antara Rp 6 juta sampai Rp 20 juta. Jadi, ia mengakui ini bisa meringankan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk peserta JKN yang terkena DBD.
Hingga saat ini, dia menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui anak yang bisa mendapat vaksin DBD adalah yang berusia antara 9 tahun sampai 16 tahun. Adapun jadwal pemberian vaksin yaitu sebanyak tiga kali yaitu vaksin pertama kali, kemudian kedua enam bulan kemudian, dan terakhir enam bulan lagi. Ia menyebut biaya untuk vaksin DBD ini sekitar Rp 1 juta sekali suntik.
Vaksin ini, dia menambahkan bisa untuk 'melawan' empat tipe nyamuk pembawa virus dengue. Sedangkan untuk yang belum mendapatkan vaksin dan terinfeksi DBD, perempuan yang juga Satgas Farmasi Pediatri IDAI tersebut meminta pengobatan efektif menggunakan cairan yang jumlahnya sama dengan plasma yang dikeluarkan.
"Untuk banyaknya tergantung keputusan dokter karena kan ada perhitungannya seperti berat badannya. Jadi jangan sampai berlebihan memberikan cairan," ujarnya.
Karena itu, dia menambahkan, pihaknya dari dokter anak merekomendasikan supaya vaksin DBD ini bisa masuk dalam program nasional. "Tetapi kami menyadari pemerintah mengalami keterbatasan dana," ujarnya.
Sebelumnya Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mendapat laporan dari 34 provinsi bahwa mulai 1 Januari 2019 hingga Rabu (29/1) tercatat sudah terjadi 13.683 kasus DBD dan penderita yang tidak tertolong sudah ratusan jiwa.
"Data kematian hingga 29 Januari 2019 sebanyak 133 jiwa," katanya saat konferensi pers update DBD, di Jakarta, Rabu (29/1).