Selasa 29 Jan 2019 22:21 WIB

Disdik Prihatin Perkawinan Anak di Indramayu Tinggi

Perkawinan anak sering terjadi karena orang tua banyak yang menjadi TKI

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU –- Tingginya kasus perkawinan anak di Kabupaten Indramayu mengundang keprihatinan di kalangan pendidik. Dibutuhkan sinergi antara dunia pendidikan, pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi kondisi tersebut.

"Sedih, ternyata masih banyak anak-anak yang seperti itu," ujar Kabid Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Supardo, Selasa (29/1).

Supardo menilai, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Salah satunya faktor ekonomi, yang membuat banyak orang tua memutuskan untuk berangkat ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).

Sedangkan untuk masalah pengasuhan anak, para TKI itu menitipkan anak-anak mereka pada kakek neneknya. Akibatnya, anak-anak tersebut menjadi kurang perhatian dan pengawasan dalam pergaulannya.

Supardo menambahkan, anak-anak sebenarnya belum siap memasuki kehidupan rumah tangga. Tak hanya secara fisik, namun juga dari sisi psikologi, sosial maupun ekonomi.

Meski demikian, bagi anak-anak yang melakukan perkawinan anak, Supardo mendorong agar mereka tetap melanjutkan pendidikannya melalui program kejar paket. Diharapkan, anak-anak itu masih bisa meraih masa depan mereka.

"Harus ada sinergi antara pihak sekolah, pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut," tukas Supardo.

Sebelumnya, keprihatinan terhadap tingginya angka perkawinan anak di Kabupaten Indramayu juga disampaikan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kabupaten Indramayu.

Sekcab KPI Kabupaten Indramayu, Yuyun Khoerunnisa, menjelaskan, banyak faktor penyebab terjadinya perkawinan anak. Salah satu faktor utamanya adalah kemiskinan. Orang tua yang memiliki tingkat ekonomi yang lemah, memilih mengawinkan anaknya untuk mengurangi beban mereka.

Selain itu, lanjut Yuyun, adanya kekhawatiran dari orang tua akan kemungkinan anaknya berbuat zina atau hamil di luar nikah, menjadi alasan lain terjadinya perkawinan anak. Padahal, untuk mencegah perzinaan dan pergaulan bebas, semestinya dilakukan dengan mendorong anak-anak mereka pada pergaulan dan kegiatan yang positif.

"Bukan dengan cara mengawinkan anak," tegas Yuyun.

Berdasarkan data dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, sepanjang 2018, tercatat ada 292 pengajuan dispensasi kawin. Dari jumlah itu, ada 266 pengajuan dispensasi kawin yang diputus majelis hakim.

"Jika dirata-ratakan (dalam setahun), dua hari sekali ada satu pengajuan dispensasi kawin," ujar Humas PA Kabupaten Indramayu, Wahid Afani, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (29/1).

Dispensasi kawin itu diajukan oleh anak-anak dibawah umur kepada PA Kabupaten Indramayu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Padahal, berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, batas usia perkawinan untuk calon pengantin perempuan semestinya minimal 16 tahun dan laki-laki minimal 19 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement