Selasa 29 Jan 2019 21:33 WIB

Pemprov Didesak Putuskan Kontrak Swastanisasi Air

Sumber daya air merupakan kebutuhan hidup orang banyak.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Gita Amanda
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Foto: dok. Institut STIAMI
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) Nelson Nikodemus Simamora mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk tetap memutuskan kontrak dengan perusahaan swasta pengelola air di DKI Jakarta. Hal itu harus tetap dilakukan meskipun ternyata Peninjauan Kembali (PK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait putusan swastanisasi telah dikabulkan.

“Sandaran bagi Gubernur itu bukan hanya putusan MA yang kemudian menolak, terus kemudian, dianggap bahwa swastanisasi legal gitu.Tidak seperti itu,” jelas Nelson kepada Republika.co.id, Selasa(29/1).

Menurutnya, ada sebuah putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Nomor 85 Tahun 2013 yang menyebutkan sumber daya air harus dikuasai negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam putusan itu pula, kata dia, terdapat syarat-syarat yang ketat bila sumber daya air akan diserahkan kepada perusahaan swasta.

“Dan kalau mau dikasih ke swasta,pun, kebutuhan air untuk rakyat itu harus terpenuhi. Kalau itu ada sisanya,” jelas dia.

Oleh sebab itu, menurutnya, meskipun semua pihak, termasuk Pemprov masih menunggu salinan putusan amar pengkabulan PK oleh Kemenkeu, Pemprov seharusnya juga patuh terhadap putusan MK itu. Pemprov harus selalu berusaha bagaimana caranya sumber daya air bisa kembali ke negara.

“Misalnya putus kontrak, kan biayanya murah itu. Dari pada beli triliunan sahamnya,” jelas dia.

Berbeda dengan Nelson, Ketua Fraksi Demokrat-PAN DKI Jakarta Taufiqurrahman, meminta Pemprov untuk mematuhi apa yang menjadi putusan dari MA. Dia sepakat dengan langkah Pemprov yang sampai sekarang menunggu salinan putusan amar terkabulnya PK yang diajukan oleh Kemenkeu.

“Terkait dengan putusan hukum, dia pasti memang menunggu sampai inkracht, yaitu tunggu sampai ada putusan PK,” kata Taufiq kepada Republika, Selasa (29/1).

Menurutnya, walaupun sudah kalah di Pengadilan Negeri (PN), kemudian di Pengadilan Tinggi (PT) lalu kasasi, maka sebagai upaya hukum terakhir yaitu PK. Artinya, bila memang telah mencapai tahap itu, Pemprov harus mentaati putusan pengadilan.

“Apapun yang menjadi keputusan pengadilan harus dihormati harus dilaksanakan,” ujar dia.

Namun, dia menerangkan, secara prinsip, fraksi Demokrat berharap sumber daya air sebaiknya jangan sampai seluruhnya dikuasai oleh swasta. Sebab, sumber daya air merupakan kebutuhan hidup orang banyak.

Sebab, rujukan tertinggi di Indonesia adalah konstitusi. Dalam konstitusi, kata dia, jelas, bahwa bumi termasuk sumber daya air dan juga kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. “Dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dia menekankan, perusahaan swasta dimungkinkan untuk turut mengelola sumber daya air. Namun, pengelolaan keseluruhan harus dilakukan oleh negara.

“Ya bisa swasta ikut boleh dalam penyediaan kah, dalam penyulingan air menjadi bersih atau apalah. Mereka kan punya teknologi. Tapi tidak hulu ke hilir,” ungkap dia.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan membenarkan PK yang diajukan Kemenkeu terkait dengan swastanisasi air dikabulkan oleh MA. Putusan tersebut keluar pada 30 November 2018.

Menurutnya, pihaknya tak mengajukan PK atas putusan MA tersebut. Artinya, Pemprov menerima putusan itu. Bahkan, kata Anies, pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah sebelum memutus kontrak terhadap kedua perusahaan swasta yaitu PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

“Ya kami tidak mengajukan PK. Kami DKI menerima keputusan itu karena buat kita di Jakarta, ini jadi ketika ada keputusan dari MA terkait dengan privatisasi kami langsung menyiapkan tim untuk menyiapkan fase-fase transisinya dan sebetulnya sudah hampir final,” jelas Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (28/1) lalu.

Pemprov, kata dia, juga kemudian tak bisa membuat langkah resmi berikutnya. Dia menyebut pihaknya harus melihat salinan putusan dikabulkannya PK tersebut. Menurutnya, dia belum melihat salinan itu meskipun telah diputuskan pada 30 November lalu.

“Tapi kami belum lihat salinannya, dari situ kami akan lihat.Tapi spirit kami adalah yang sekarang sudah jalan prosesnya kami akan jalan terus,” jelas Anies.

Dia juga memastikan, hasil PK tersebut tidak akan mengganggu langkah-langkah rencana berikutnya untuk memutuskan kontrak dengan kedua perusahaan swasta tersebut. Namun, dia menegaskan, akan tetap mengkaji dan memprosesnya sampai final hingga sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

“Kita dapat informasi itu sekitar minggu lalu. Dan pada saat terima informasi itu, saya bilang kita tunggu sampai keluar salinannya. Tunggu dulu sebentar sampai hukumnya aman,” kata Anies

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement