REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 679.901 hektare lahan gambut di luar konsesi telah pulih. Angka tersebut mencakup 62 persen dari target pemerintah merestorasi 2 juta hektare gambut hingga 2020.
"Kami fokus di lahan milik masyarakat dan hutan lindung yang dikelola daerah," kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead dalam acara peringatan Tiga Tahun BRG di Auditorium Manggala Wanabakti, Selasa (29/1).
Ia menjelaskan, pulih di sini dalam artian lahan gambut telah basah. Pemulihan ekosistem gambut yang dilakukan BRG melalui 3R yakni rewetting, revegetasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat.
Prinsip Gotong Royong dilakukan BRG bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, TNI/Polri, pemerintah daerah, perguruan tinggi, masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). BRG bekerja secara khusus untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hodrologis gambut yang rusak akibat kebakaran dan pengeringan dengan daerah kerja di tujuh provinsi adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Selain lahan gambut di luar konsesi yang mulai pulih, KLHK juga telah mendorong pemulihan ekosistem gambut di luar konsesi. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah mengatakan, sampai dengan 2018, seluas 3,1 juta hektare lahan gambut telah pulih dengan cara pembasahan baik di area konsesi dan nonkonsesi.
"Dari capaian pelaksanaan pemulihan tersebut, maka sampai dengan tahun 2018 dapat dihitung penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 190,6 juta ton CO2 ekuivalen," ujarnya.
Secara rinci luas areal pemulihan ekosistem gambut tersebut adalah pada area perkebunan seluas 884.580,09 hektare, Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 2.226.780,80 hektare dan di lahan masyarakat mencapai 8.382 hektare. Itu artinya, total lahan gambut yang sudah direstorasi hingga 2018 mencapai hampir 4 juta hektare.
Dalam rangka monitoring tingkat keberhasilan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut, KLHK telah membangun database pemantauan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) dan curah hujan di areal konsesi maupun lahan masyarakat bernama SiMATAG-04m. Database tersebut mengelola data pemantauan dari 9.603 titik penataan TMAT yang tersebar di seluruh Indonesia diupdate secara kontinyu melalui aplikasi gawai (mobile application based).
Informasi dari database tersebut dapat digunakan untuk mengetahui pemenuhan kewajiban pelaksanaan tata kelola air dengan indikator data pemantauan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) < 0,4 meter. Data pemantauan TMAT yang terekam dalam database tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan perhitungan penurunan gas rumah kaca di lahan gambut melalui perbandingan antara sebelum dan sesudah adanya aktivitas pemulihan ekosistem gambut dengan tata kelola air.
Kondisi lahan gambut Indonesia yang sangat luas mencapai 24.667.804 hektare merupakan potensi kekayaan sumber daya alam yang tidak ternilai dan patut disyukuri. Namun, karena pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan dapat menimbulkan permasalahan khususnya degradasi lahan, kebakaran lahan dan kerusakan lahan gambut yang dapat mengancam keberadaannya.
Dengan adanya pembasahan lahan gambut tersebut akan mengurangi dekomposisi gambut sehingga mencegah terjadinya kebakaran dan emisi CO2. Identifikasi titik panas dalam radius dua kilometer dari lokasi infrastruktur pembasahan gambut juga tercatat sangat kecil, yaitu di bawah 10 persen.
Karliansyah menjelaskan, tercapainya angka 3,1 juta hektare sebenarnya karena dukungan pihak swasta. Perusahaan mau bekerja sama menjaga air muka tanah 0,4 meter meski sempat alot pada awalnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, industri dan korporasi memberi devisa lebih besar setelah menerapkan aturan pemerintah terkait gambut ini. Menurutnya, pendapatan sektor kehutanan meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Devisa yang dihasilkan pada 2018 mencapai 12,2 miliar dolar AS.
"Salah kalau kita mengikuti aturan, industri akan mati," tegas dia.