Oleh: Hasanul Rizqa, Jurnalis Republika
JAKARTA – Kabar duka datang dari dunia pergerakan nasional. Salah seorang pendiri Forum Demokrasi (Fordem), A Rahman Tolleng, berpulang ke rahmatullah pada hari ini, Selasa (29/1) pukul 05.25 WIB di Jakarta.
Kepergian aktivis senior yang sudah malang-melintang sejak era Sukarno, Suharto, dan Reformasi itu meninggalkan duka mendalam pada banyak pihak. Salah satunya, intelektual publik Rocky Gerung.
Menurutnya, almarhum merupakan sosok yang berprinsip teguh dan konsisten dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Pria kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, itu dipandangnya sebagai senior yang akrab dengan generasi di bawahnya, khususnya dari kalangan aktivis.
“Dia orang yang konsisten dengan perjuangan untuk memperbanyak demokrasi dan menghadirkan ulang demokrasi. Banyak anak muda yang angkatan 1980-an, para aktivis, termasuk saya di dalamnya, yang bergaul dengan dia. Dia kami pandang sebagai guru yang baik, sabar untuk berdiskusi, dan sangat peduli terhadap kesetaraan manusia,” ujar Rocky Gerung saat dihubungi Republika, Selasa (29/1).
Rahman Tolleng dikenang sebagai tokoh yang kritis dan tidak kenal menyerah. Semasa hidupnya, dia berkeyakinan bahwa perjuangan politik adalah perjuangan nilai, yang tidak seharusnya kalah terhadap kepentingan egosentrisme apalagi uang. Rocky mengenang, prinsip-prinsip itulah yang selalu ditularkan almarhum kepada para aktivis pro-demokrasi, termasuk ketika di Fordem.
Sebagai informasi, Fordem lahir pada Maret 1991 dari inisiasi sejumlah intelektual dan tokoh pro-demokrasi. Forum diskusi itu difungsikan sebagai wadah para aktivis untuk menumbuhkan dasar-dasar masyarakat yang demokratis di Indonesia, utamanya sebagai respons terhadap rezim Orde Baru yang begitu hegemonis saat itu.
Setelah Presiden Suharto berhenti dari jabatannya, Fordem mengajukan tokoh Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden alternatif. Melalui dinamika di Sidang Umum MPR, Gus Dur yang dicalonkan Poros Tengah akhirnya terpilih menjadi presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999. Rocky menyebut, terpilihnya Gus Dur menggantikan Habibie disambut baik kalangan aktivis masyarakat madani (civil society) pada saat itu.
“Pandangan politiknya (alm Rahman Tolleng) ya sosialis, liberal. Ya, saya sama-sama di Fordem. Waktu kita bikin Fordem, ada Pak Rahman, Pak Marsilam Simanjuntak, Pak Gus Dur, dan lain-lain. Itu dalam upaya untuk mulai menanam bibit awal yang memungkinkan Reformasi, sehingga akhirnya terjadi dan Gus Dur bisa menjadi presiden,” kata Rocky.
Seiring waktu, Era Reformasi sekarang justru semakin jauh dari cita-cita awal. Oleh karena itu, Rocky menegaskan perlunya generasi sekarang belajar dari pandangan hidup almarhum Rahman Tolleng. Terbukti, Reformasi belum mampu membawa seluruh rakyat Indonesia pada terwujudnya keadilan sosial dan kebebasan manusia.
Dia mencontohkan kasus baru-baru ini, yaitu vonis 1,5 tahun penjara atas Ahmad Dhani. Menurutnya, hukuman yang diterima politikus tersebut mengabaikan rasa keadilan. Sebab, apa yang dilakukan politikus itu hanyalah berpendapat di ruang publik.
Kasus Ahmad Dhani dapat menjadi salah satu bahan evaluasi tentang kemunduran Reformasi. Rocky menuturkan, saat ini kehangatan berwarga negara sudah mulai langka ditemui karena orang-orang dihinggapi rasa takut hanya untuk mengungkapkan pikirannya.
“(Realisasi) keadilan sosial dan kebebasan manusia. Dua hal itulah inti dari Reformasi sebetulnya. Sejak Forum Demokrasi dibuat, diskusi kita tentang itu. Pernyataan kita tentang itu,” tutur pakar filsafat yang pernah mengajar di Universitas Indonesia (UI) itu.
Rahman Tolleng lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, pada 5 Juli 1937. Semasa kecil, dia menempuh pendidikan dasar di Watampone, Sulawesi Selatan.
Merantau ke Jawa pada waktu muda. Dia sempat belajar di Institut Teknologi Bandung, Jurusan Apoteker dalam periode 1955-1959, meski tidak sampai tamat. Pernah pula terdaftar sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjajaran, yang juga tidak diselesaikannya.
Di bawah rezim Orde Lama, Rahman Tolleng termasuk kalangan aktivis yang menentang hegemoni Nasionalis Agama Komunis (Nasakom) yang digelorakan Presiden Sukarno.
Setelah Orde Lama runtuh pada 1965, Rahman Tolleng aktif di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung. Kemudian, dia naik sebagai salah seorang ketua Presidium KAMI Pusat.
Medio 1966, dia dan kawan-kawannya menginisiasi Mahasiswa Indonesia. Media yang terbit mingguan itu segera dikenal luas sebagai koran intelektual yang berisi pandangan-pandangan kritis mengenai perpolitikan nasional dan arah masa depan bangsa.
Setelah lama di luar jalur struktural, Rahman Tolleng akhirnya terjun ke dunia politik praktis. Sejak 1968, dia termasuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Peran itu dijalaninya hingga 1971, dan berlanjut tiga tahun kemudian setelah lembaga itu menjadi DPR. Di luar parlemen, dia juga terlibat dalam mengubah Sekretariat Bersama Golongan Karya menjadi Golkar—akhirnya merupakan mesin politik Presiden Suharto yang paling utama di ranah sipil.
Peristiwa Malapetaka Januari (Malari) pada 15 Januari 1974, mengubah drastis kesan kaum pro-demokrasi terhadap Orde Baru. Saat itu, rezim Presiden Suharto mulai bersikap hegemonis terhadap pergerakan mahasiswa. Pada tahun itu pula, Mahasiswa Indonesia dilarang peredarannya oleh penguasa.
Rahman Tolleng dituding sebagai penggerak demonstrasi Malari. Dia bersama sejumlah intelektual dan tokoh mahasiswa lainnya, dimasukkan ke dalam bui, RTM Budi Utomo Jakarta. Keadaan itu dijalaninya selama 16 bulan hingga akhirnya bebas, walau tanpa melalui proses peradilan. Sejak saat itu, namanya mulai tersingkir dari panggung politik. Demikian pula di DPP Golkar.
Memasuki 1990-an, hegemoni Suharto menumbuhkan resistensi dari kalangan pro-demokrasi. Rahman Tolleng bersama rekan-rekannya dari lintas generasi (antara lain Gus Dur, Arief Rahman, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, dan Adnan Buyung Nasution) ikut melahirkan Fordem. Dengan runtuhnya kekuasaan Suharto dan naiknya Habibie, hal itu memungkinkan kalangan civil society untuk tampil ke depan. Pada 1999, Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat.