REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Biaya haji masih dianggap terlalu mahal. Di satu sisi, anggapan ihwal mahalnya biaya haji disebabkan oleh masyarakat yang belum mengetahui detail soal biaya haji.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu mengatakan, Biaya Penyelenggaraan Haji (BPIH) adalah istilah baru yang menggantikan Ongkos Naik Haji (ONH). Hal tersebut, menurutnya, menjadi salah satu penyebab sebagian masyarakat belum paham besaran jumlah BPIH dan sumber dana BPIH itu sendiri.
Ia menuturkan, BPIH adalah penjumlahan dari besaran biaya perjalanan ibadah haji dari Indonesia menuju dan dari Arab Saudi. Biaya tersebut terdiri dari penerbangan, akomodasi di Arab Saudi (Mekah, Madinah, Arafah, dan Mina), konsumsi selama di Arab Saudi, transportasi antarkota dari bandara menuju penginapan serta biaya tiket bus di Mekkah dan transportasi antara Arafah-Muzdalifah-Mina (Naqobah).
"Di luar biaya perjalananan dan biaya hidup selama di Arab Saudi, biaya haji juga memperhitungkan ongkos hidup calon jamaah sebelum keberangkatan, yakni biaya dari rumah masing-masing dan biaya selama tinggal di asrama haji," katanya dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Senin (28/1).
Dana yang harus dikeluarkan untuk bimbingan haji, pengurusan paspor, visa, rekam biometrik, buku manasik dan dokumen lain juga termasuk dalam komponen perhitungan biaya haji.
Meski hal-hal yang dihitung dalam pembiayaan terlihat banyak, pemerintah tetap turut andil dalam mendukung pembiayaan haji. Misalnya seperti petugas kloter dan non-kloter, petugas di kantor perwakilan, petugas kesehatan, biaya pengawasan dan biaya administratif serta biaya tak terduga.
"Biaya perjalanan ibadah haji yang paling dominan adalah dari komponen penerbangan 40 persen, akomodasi 30 persen, transportasi dan katering 10 persen, serta biaya-biaya lain hingga 100 persen," ujarnya. Ia menuturkan, pada tahun 2018 total biaya penyelenggaraan ibadah haji se-Indonesia adalah sekitar Rp 13,6 triliun atau per orang sekitar Rp 67,5 juta.