Kamis 24 Jan 2019 00:00 WIB

Kredibilitas Trump Dipereteli

Shutdown pemerintahan AS mencapai rekor terlama.

Teguh Firmansyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,oleh Teguh Firmansyah*

Dalam suatu kesempatan seorang staf kedubes AS menghubungi saya. Ia mohon maaf tidak bisa ikut bersama kegiatan pelatihan di Makassar karena belum ada kesepakatan anggaran antara Capitoll Hill dan Gedung Putih.

Pemberitahuan itu terbilang mendadak. Staf tersebut bahkan sudah mengepakkan pakaiannya ke dalam koper jika seandainya kesepakatan anggaran tercapai sebelum pesawat take off. Namun sayang hingga pesawat terbang, belum ada persetujuan di Washington.

Kondisi serupa terjadi saat ini, ketika Pemerintahan AS shutdown, semua kegiatan pemerintahan AS terganggu. Tak ayal, banyak pegawai federal AS yang mencak-mencak.

Shutdown ini merupakan yang terlama sepanjang sejarah pemerintahan Paman Sam. Pemerintahan AS telah 'tutup' selama 30 hari. Rekor di era Trump mengalahkan era Bill Clinton pada 1995-1996 yakni 5 dan 21 hari.

Akibat shutdown, sekitar 800 ribu pegawai federal tak digaji karena batas waktu pembayaran yakni pada 11 Januari. Selain itu pegawai juga dilarang melakukan perjalanan dinas, ribuan kontraktor pemerintahan federal tak bekerja hingga pelayanan Museum maupun Taman Nasional yang terganggu.

Dampak itu terimbas hingga ke Gedung Putih. Baru-baru ini Presiden Trump menyajikan makanan cepat saji McDonald's saat menjamu tamunya di Gedung Putih karena koki Gedung Putih diliburkan.

Seteru politik Trump yang juga ketua Dewan AS dari Partai Demokrat Nancy Pelosi membatalkan kunjungan ke Afghanistan karena sang presiden tak mau menyediakan pesawat militer.  Menurut S&P Global Rating, shutdown pemerintahan AS telah berdampak ke ekonomi hingga 3,6 miiliar dolar AS.

Penyebab utama shutdown adalah usulan Trump untuk membangun tembok perbatasan antara Meksiko dan AS sebesar 5,7 miliar dolar AS. Partai Demokrat yang kini menguasai House Representative atau Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) AS tak mau menerima usulan tersebut.

Selain persoalan kemanusiaan, Demokrat juga mempersoalkan sikap Meksiko yang tak mau urunan dalam pembangunan tembok tersebut. Padahal, masalah ini menjadi persoalan bersama antarkedua negara.

Trump belum mau mundur dari rencananya membangun tembok. Bagi Trump, tembok ini penting untuk mencegah imigran ilegal masuk lewat perbatasan.  Ia pun menawarkan Demokrat sejumlah opsi termasuk melindungi sementara imigran tak berdokumen dari deportasi.

Namun Demokrat bergeming. Partai yang sebelumnya menjadi pendukung Barack Obama ini seolah mengambil keuntungan dalam kasus shutdown. Demokrat seperti ingin 'mendelegitimasi' Trump secara perlahan.

Shutdown membuat citra Trump semakin terpuruk. Berdasarkan hasil survei terbaru Reuters 51 persen responden menyalahkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump atas penutupan sebagian pemerintah federal. Jajak pendapat dilakukan Reuters pada 8-14 Januari 2019. 

Ini bukan kali pertama Demokrat 'menyerang' Trump. Sejak awal Trump memimpin, Demokrat yang memiliki basis pendukung di kalangan minoritas terus menekan presiden. Dari mulai isu imigran, hubungan Trump dengan Rusia, hingga masalah tembok perbatasan.

Trump tidak menang mutlak pada pilpres 2016 lalu. Trump kalah secara popular vote dari Hillary Clinton. Namun Trump memenangkan suara electoral yang menjadi perhitungan dalam pilpres AS.

Isu terjadi kecurangan pun mencuat. Salah satunya yakni soal tudingan campur tangan Rusia dalam kemenangan Trump. Meski Trump, membantah isu ini masih terus 'digoreng' hingga sekarang. 

Belum lagi soal, perseteruan Trump dengan para pembantu dekatnya. Konflik internal ini mempelihatkan ketidakkompakan pemerintahan. Terakhir yakni mundurnya Menteri Pertahanan Jim Mattis yang tak sepakat dengan keputusan Trump menarik mundur pasukan AS dari Suriah. New York Times mencatat, sedikitnya 40 orang yang berada di lingkaran Trump mundur sejak Januari 2017.

Langkah Demokrat 'menyerang' Trump menuai hasil. Pada pemilu sela November lalu, Demokrat berhasil mengambil alih suara mayoritas di DPR dari Republik dengan 235 kursi. 

Kini laju pemerintahan Trump dipastikan tak akan mudah ke depan. Partai Demokrat akan membayang-bayangi setiap kebijakan yang akan dikeluarkan Trump. Ia tak bisa lagi leluasa untuk membuat kebijakan seperti awal-awal pemerintahan saat menguasai majelis tinggi dan rendah.  

Masalah imigran dan kasus hubungan dengan Rusia bisa menjadi penjegal utama Trump untuk maju kembali pada Pemilu 2020. Belum lagi isu pembunuhan kolomnis Washington Post, Jamal Khashoggi yang ikut mempengaruhi citra Trump.

Demokrat akan mencitrakan Donald Trump sebagai sosok presiden yang bermasalah, tak melindungi minoritas hingga buruknya manajemen pemerintahan. Sasarannya satu Donald Trump tak terpilih lagi sebagai presiden pada 2020 mendatang.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement