REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui lima Kementerian sepakat merekomendasikan proses perekaman biometrik oleh Visa Vacilitation Service (VFS) Tasheel ditunda. Proses perekaman yang merupakan kebijakan Kerajaan Arab Saudi tersebut selama ini dinilai menyulitkan jamaah umrah dan bermasalah dari segi prosedurnya.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang dilakukan perwakilan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Komunikasi Informasi (Kominfo), dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) di kantor di Badan Koordinasi Penanaman Modan (BKPM).
“Semua peserta rapat sepakat agar persyaratan biometrik untuk mengurus visa haji dan umrah ditunda,” kata Direktur Jenderal dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendgari Zudan Arif Fakrullah saat dihubungi Republika, Selasa (21/1).
Menurut dia, rapat kemarin adalah tindak lanjut rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Komisi I DPR pada Senin (21/1). Disepakati juga dalam rapat kemarin, tidak ada perekaman biometrik yang dilakukan pihak asing di wilayah NKRI, kecuali ada perjanjian kerja sama. Ketiga, BKPM segera mengundang asosiasi untuk evaluasi perekaman biometrik yang dilakukan VFS Tasheel.
VFS Tasheel adalah lembaga swasta yang diserahi Kerajaan Saudi melakukan perekaman biometrik di negara asal jamaah. Sebelum diresmikan pada akhir tahun lalu, pemeriksaan biometrik dilakukan di bandara kedatangan di Jeddah atau Madinah.
Jamaah dikenai biaya Rp 120 ribu untuk menjalani proses tersebut. Proses itu kemudian menjadi persoalan saat jamaah umrah dari berbagai daerah harus mendatangi kantor perwakilan yang hanya berada di 35 titik seantero Indonesia.
Sejumlah asosiasi umrah telah melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi untuk Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu. Pihak Kedubes Saudi menjanjikan akan meneruskan keberatan mereka ke kerajaan.
Zudan mengatakan, jika Tasheel ingin kembali melakukan rekam biometrik, harus berkoordinasi dengan pihak kementerian terkait yang memiliki tugas melindungi data kependudukan seluruh penduduk Indonesia. Koordinasi penting dilakukan agar rekam biometrik legalitasnya tidak dipertanyakan. Ia menilai, selama ini perusahaan itu hanya mengantongi izin sebagai biro perjalanan wisata.
Dirjen Protokoler dan Konsuler Kepala Protokoler Negara Kementerial Luar Negeri, Andri Hadi, mengatakan, seturut rekomendasi kemarin pemerintah melalui BKPM masih perlu berkomunikasi dengan pihak Tasheel. “Jadi, itu (penundaan) hanya rekomendasi. Tentunya, nanti BKPM yang akan melanjutkan dengan Tasheel,” kata Andri setelah mengikuti rapat.
Andri mengatakan, dalam hal ini pemerintah harus hati-hati dalam mengambil keputusan demi menjaga nama baik negara Indonesia di mata masyarakat internasional. “Jangan sampai kita dinilai inkonsistensi juga, kok diberi izin, tapi dicabut. Tapi, ini demi pelaksanaan yang lebih baik,” katanya.
Ia mengatakan, jika nanti BKPM sudah selesai berkomunikasi dengan Tasheel, Kemenlu akan melanjutkan hasilnya ke Pemerintah Saudi melalui Kedutaan Besar Saudi Arabi di Indonesia.
Sementara itu, pihak BKPM menyatakan belum bisa membekukan izin VFS Tasheel. Hal ini lantaran tak ada bukti pelanggaran yang dilakukan perusahaan swasta itu. Menurut Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM, Yuliot, selama ini kegiatan yang dikakukan VFS Tasheel telah sesuai dengan izin yang diberikan.
“Pembekuan izin harus ada indikasi pelanggaran yang dibuktikan dengan pemeriksaan lapangan atau perintah pengadilan. Untuk PT VFS Tasheel Indonesia melakukan kegiatan sesuai izin yang diberikan,” ujar Yuliot, kemarin. Untuk menindaklanjuti terkait polemik VFS Tasheel, BKPM tengah berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.
Sebelumnya, Kemenag juga melansir alasan mengapa perekaman biometrik memberatkan jamaah Indonesia. Direktur Bina Haji Khusus Kemenag Arfi Hatim mengatakan, alasan pertama kondisi geografis Indonesia terdiri atas ribuan pulau dan sangat luas. Saat ini, dia melanjutkan, operator VFS Tasheel hanya memiliki 30 kantor di kota-kota besar Indonesia.
Kedua, Arfi mengatakan, perekaman data biometrik tersebut membebankan biaya tambahan kepada calon jamaah umrah. Selain itu, dia menjelaskan, perekaman biometrik membutuhkan proses cukup panjang. Sebab, calon jamaah umrah harus mendaftar secara daring untuk mengambil jadwal perekaman data di kantor VFS Tasheel terdekat.
Hingga berita ini diturunkan, Republika belum berhasil memperoleh tanggapan pihak VFS Tasheel ataupun Kedubes Saudi di Jakarta. Saat pengoperasiaannya diresmikan pada Oktober 2018 lalu, pihak Kedubes Saudi melansir bahwa layanan itu untuk memudahkan jamaah umrah Indonesia. Mereka memercayakan pelayanan pada VFS Tasheel karena pengalaman panjang perusahaan tersebut.
(ali yusuf/umi nur fadhilah/andrian saputra ed: fitriyan zamzami)