REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPUU) mulai menyelidiki dugaan adanya kartel kenaikan harga tiket pesawat dan jasa kargo udara. Penelitian ini merupakan inisiatif KPPU setelah mendengar indikasi informasi yang beredar di masyarakat.
Kartel, mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah gabungan perusahaan sejenis yang bertujuan untuk mengendalikan permintaan, produksi, dan harga produk atau jasa. Warganet tiga pekan terakhir mengeluhkan mahalnya harga tiket penerbangan ke berbagai daerah di Indonesia. Mereka membandingkan harga tiket domestik dengan harga tiket luar negeri yang lebih murah. Sorotan terutama ke maskapai Lion Air, Garuda Indonesia, dan Citilink.
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan, KPPU memanggil pihak-pihak terkait dalam tahap penelitian, yaitu maskapai dan pemerintah. Dia menambahkan, KPPU sudah memanggil perusahaan maskapai penerbangan dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk meminta keterangan terkait dugaan kartel.
“Yang harus kita pahami bersama, tahap penelitian ini bukan berarti bersalah,” kata Guntur, di Jakarta, Senin (21/1).
Selanjutnya, KPPU akan menggunakan data sekunder untuk memverifikasi berbagai informasi. Guntur menjelaskan, poin dari penelitian KPPU adalah untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat bahwa kenaikan tarif tiket pesawat yang terjadi termasuk dalam kategori praktik kartel atau tidak.
Penelitian terhadap dugaan kartel harga tiket sudah dilakukan sejak beberapa hari lalu, sementara dugaan kartel harga kargo baru dimulai pada Senin (21/1). Guntur tak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meneliti dugaan praktik kartel. "Karena, semua ini sangat tergantung dari progres di lapangan," kata dia.
Untuk meneliti dugaan praktik kartel, KPPU mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal itu melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyakini tidak ada praktik kartel dalam kenaikan harga tiket pesawat. Meski begitu, ia mempersilakan KPPU untuk membuktikan adanya dugaan tersebut.
Menurut dia, KPPU memang memiliki kewenangan untuk mencegah dan mengatasi praktik persaingan tidak sehat. "Tapi, kalau menurut saya, saya rasa tidak ada (kartel harga tiket pesawat),” ujar Budi di gedung Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Senin (21/1).
Budi menyadari, harga tiket pesawat sedang menjadi sorotan banyak pihak. Sebagai regulator, kata Budi, Kemenhub siap menyederhanakan peraturan yang dinilai masih menyulitkan maskapai dan industri penerbangan secara umum.
Budi akan mengkaji terlebih dahulu peraturan penerbangan dengan sejumlah pihak dan pemangku kepentingan terkait. "Nanti kita lihat," kata Budi.
Penyederhaan regulasi penting dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan konsumen dan maskapai. Kenaikan tarif pesawat memang memberatkan konsumen. Namun, di sisi lain, maskapai dihadapkan pada kondisi sulit akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan naiknnya harga avtur.
Tak ada pelanggaran
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengatakan, Kemenhub sudah memeriksa keadaan sebenarnya terkait pelayanan penumpang, termasuk soal harga tiket. Selain itu, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca) juga telah menurunkan harga tiket pesawat dengan mempertimbangkan keluhan masyarakat.
Polana menuturkan, sampai saat ini belum ada aturan yang dilanggar oleh maskapai penerbangan terkait harga tiket pesawat. “Harganya masih sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan PM 14 Tahun 2016,” ujar Polana menjelaskan.
Dia menjelaskan, harga tiket pesawat memang lebih berfluktuasi dibandingkan moda transportasi lain. Hal tersebut dikarenakan sifat bisnis penerbangan yang juga fluktuatif. "Bisnis penerbangan bergantung pada momen sibuk atau sepi," kata dia.
Terkait regulasi, Polana mengatakan, PM 14 Tahun 2016 yang mengatur tarif batas penerbangan belum pernah direvisi sejak 2016. Padahal, menurut dia, berdasarkan undang-undang yang berlaku, PM bisa direvisi apabila ada kondisi yang menyebabkan iklim usaha tidak sehat, dalam hal ini bergejolaknya nilai tukar rupiah dan harga avtur.
Kemenhub telah menyerahkan usulan Inaca untuk menaikkan tarif batas bawah sebesar lima persen menjadi 35 persen dari tarif batas atas kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Namun, usulan itu masih tertahan.