REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P
Berada di deretan rumah toko (ruko) di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, menyempil satu museum kecil. Sebuah papan berwarna merah bertuliskan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa menandakan museum yang dikelola dan didirakan oleh Azmi Abubakar itu.
Bangunan itu tak terlalu luas, hanya sekitar 5x10 meter dan bertingkat dua. Namun, di dalam bangunan yang tak begitu luas itu penuh dengan beragam bahan bacaan, dominasinya adalah buku dan koran tentang peranakan Tionghoa dari terbitan 1700-an hingga saat ini.
Bau khas buku sangat terasa ketika memasuki bangunan itu. Di kanan dan kiri ruangan terdapat rak yang penuh dengan buku. Sementara di bagian tengah terdapat etalase memanjang memamerkan dokumen, koran, dan juga beberapa buku lainnya.
Di ruangan itu hanya terdapat tiga orang. Selain Azmi, ada dua orang lainnya yang merupakan kerabat Azmi sedang membantu menjaga museum. Sementara pengunjung rombongan ibu-ibu baru saja meninggalkan museum itu.
Sejak 2011 museum itu berdiri. Setiap hari, selalu ada saja orang yang bekunjung ke tempat itu. Membaca dan melihat koleksi yang ada di dalamnya.
"Saya dirikan tahun 2011, bermula dari koleksi saya yang saya kumpulkan dari tahun 1999. Ini semua milik pribadi," kata Azmi saat ditemui Republika saat bekunjung ke museumnya yang beralamat di Ruko Golden Road, Jalan Lengkong Gudang, Serpong, BSD City, Tangerang Selatan, Senin (21/1).
Menurut dia, dalam sebulan rata-rata ada 500 orang yang datang ke museumnya. Beberapa datang dari luar negeri, seperti Belanda dan Prancis, untuk melakukan penelitian. Namun, bukan berarti kunjungan hanya didominasi oleh kalangan intelektual, melainkan juga masyarakat awam.
Ide mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa bukanlah tanpa dasar. Adalah tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menjadi momentum Azmi mendalami kajian peranakan Tionghoa.
Ketika itu, ia merupakan salah satu dari ribuan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut reformasi. Ironisnya, reformasi memakan korban yang notabene peranakan Tionghoa.
"Saat itu ada tragedi 13-14 Mei. Bagi saya, itu satu hal yang tak habis pikir. Masyarakat yang rukun, baik-baik saja, bisa menjadi tak terkendali. Memang ada provokasi, tapi mengapa bisa dan masif terjadi?" tanya dia.
Pertanyaan itulah yang mengganggu pikiran Azmi. Dari situ, ia mencoba membaca banyak literasi mengenai peranakan dan menemukan banyak kisah jasa dan peran orang Cina kepada Indonesia yang membuat dirinya kaget sekaligus kagum.
Ia berandai-andai, jika saja masyarakat pada 1998 itu tahu peran peranakan kepada Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan, apakah masih bisa diprovokasi? Apakah kerusuhan yang menyebabkan tragedi itu akan terjadi?
"Saya tak ingin berhenti di diri saya, tapi juga menjadi kekaguman orang lain juga. Itulah saya beranikan buka untuk museum ini untuk umum," kata dia.
Untuk masuk ke dalam museum pribadi itu memang tak dipungut biaya. Setiap orang bisa datang dan berkunjung, juga membaca koleksi yang berjumlah sekitar 35 ribu buku di museum itu secara gratis. Namun, pengunjung harus membaca langsung di museum atau tak boleh membawa pulang buku. Pengunjung juga harus hati-hati untuk membuka buku yang sudah tua lantaran rentan tersobek.
Beberapa koleksi yang ada di antaranya adalah buku, koran, dokumen, bahkan juga komik peranakan yang terbit sebelum kemerdekaan Indonesia. Ada pula beberapa pernak-pernik khas kebudayaan Cina.
Beberapa lembaran koran terbungkus rapih dengan plastik agar tak cepat rusak. Buku-buku juga tersusun rapih dalam rak-rak yang mengambilnya pun harus mendongak. Beberapa masih tergeletak di bawah karena tak mendapatkan tempat di dalam rak.
Azmi memiliki keyakinan, dengan menyebarkan literasi mengenai peran dan jasa peranakan ke masyarakat, akan semakin banyak orang yang paham bahwa etnis Cina juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Dengan begitu, provokasi seperti yang terjadi pada 1998 tak akan terulang lagi.
Sempat ditentang
Mendirikan museum yang lekat dengan budaya Cina bukanlah hal yang mudah bagi lelaki berdarah Aceh itu. Pada awalnya, Azmi mengaku sempat ditentang oleh keluarganya yang taat pada ajaran Islam.
Sejak kecil, Azmi memang dibesarkan dengan budaya Islam yang kental. Bahkan, di rumahnya, tumpukan kitab bertuliskan Arab gundul lebih banyak daripada yang berbahasa Indonesa, apalagi bahasa Mandarin.
"Pertama buka, tentu ada (sentimen). Mengapa buka museum, bukan mushala, masjid atau pesantren?" kata dia, menirukan pertanyaan keluarganya.
Apalagi, ayahnya yang merupakan orang Aceh tuleh merupakan seorang pimpinan pesantren yang juga lulusan Madina University. Karena itu, ia sempat mendapat tentangan keras dari keluarganya.
Namun, ia tetap 'bandel' membuka Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Baginya, tindakan itu merupakan bagian dari ibadah. Pasalnya, banyak masyarakat yang belum kenal dengan mengenai sejarah salah satu bangsa Indonesia etnis Tionghoa.
Tentangan itu bukan hanya datang dari keluarga. Saat museum dibuka, beberapa rekan juga mempertanyakan keputusannya. Bahkan, ada juga tentangan keras dari aparat, melalui penyisiran buku kiri misalnya. Ada beberapa buku koleksinya yang dianggap kekirian. Buku-buku itu dipotret untuk dijadikan barang bukti.
Salah satu buku yang pernah dianggap kekirian adalah karangan Sun Yat Sen. Padahal, menurut dia, Sun Yat Sen bukanlah seorang komunis.
Bukan menjadi takut dengan sentimen yang didapatkan, justru tekad Azmi semakin tinggi. Menurut dia, stigma negatif itu akan menjadi lahan dakwah baginya.
"Reaksi itu karena ketidaktahuan saja menurut saya," kata dia.
Menurut dia, stigma yang terbangun kepada peranakan itu dilakukan puluhan tahun secara sistematis oleh Orde Baru. Karena itu, untuk mengubah stigma itu tak cukup dengan waktu sekejap.
Apalagi, lanjut dia, untuk mengabarkan ke masyarakat yang tingkat bacanya rendah. Ia kadang harus proaktif untuk mendekati kelompok atau komunitas. Bersama mereka, Azmi berdiskusi mengenai sejarah perjuangan Tionghoa.
"Kita harus bersabar. Sama dengan mereka melakukannya dengan sabar. Orang-orang jahat itu sabar. Jadi harus kita lawan dengan kesabaran," kata dia.
Kini, dukungan dari keluarga telah didapatnya. Bahkan, pada pertengahan 2019 mendatang, Azmi berencana memindahkan lokasi museum ke tempat yang lebih luas, 1.000 meter persegi.
Secara ekonomi, ia memang tak mendapatkan keuntungan langsung dari aktivitasnya itu. Baginya, semua itu hanyalah hobi.
Namun, ia yakin dengan aktivitas itu hidupnya semakin bahagia. "Ini ibadah, kayak sedekah. Pasti ada imbalannya. Karena kita senang juga kan bisnis berjalan dengan baik. Ekonomisnya di luar pemahaman umum. Artinya beyond," kata dia.
Beberapa kali ia sempat menunjukkan koleksi literasi yang ada di tempat itu, seperti koran IK PO yang terbit pada 1905. Selembar koran yang dilapisi plastik itu sudah terlihat telah kekuningan.
Sebelum berpamitan, ia berkali-kali meminta maaf karena tak bisa lama menemani. Pasalnya, ia memiliki janji dengan orang lain untum bertemu. Namun, sebelum pergi, Azmi menyempatkan diri untuk shalat dzuhur di ujung museum yang penuh dengan literasi Cina itu.