REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, kedua capres baik Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto, sangat miskin atau pelit memberi apresiasi. Hal ini terlihat pada sesi terakhir debat. Padahal moderator beberapa kali mengingatkan agar para capres memberi apresiasi sesama capres.
Tetapi Jokowi yang diberikan kesempatan pertama sama sekali tidak memberikan apresiasi terhadap Prabowo. Pada saat Prabowo diberi kesempatan untuk menyampaikan kalimat penutup di sesi terakhir juga tidak menyampaikan kalimat apresiasi kepada Jokowi.
"Kesimpulan saya, keduanya memang sama-sama berwatak pelit memberi apresiasi atau mungkin keduanya tidak memahami penjelasan moderator Ira Koesno dan Imam Priyono. Ini sangat disayangkan," ujar Ubedilah dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (18/1).
Menurut Ubedilah, debat perdana capres-cawapres 2019 berlangsung tidak menarik dan kering karena minus spontanitas. Hal ini sudah ia duga sebelumnya mengingat Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi kisi-kisi pertanyaan kepada kandidat sebelum debat berlangsung.
"Capres-cawapres kurang spontan dalam menyampaikan pandangan dan cenderung bergantung pada kertas contekan. Ini terlihat pada pasangan 01 yang masih nampak grogi atau tidak percaya diri. Kurang spontan dan bergantung contekan ini efek dari kisi-kisi pertanyaan yang sudah dibocorkan KPU," katanya.
Ubedilah juga menuturkan, debat menjadi tidak menarik karena minimnya perspektif atau minimnya penguasaan capres-cawapres terkait isu hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme. Ini terlihat dari narasi yang terbatas dan tampak pikiran capres-cawapres kurang tereksplorasi.
Misalnya pada persoalan mendasar pelanggaran HAM, menurut Ubedilah, publik tidak mendapat penjelasan yang utuh dari kedua pasangan calon. Keduanya sangat normatif dan tidak menukik. Termasuk soal korupsi, publik tidak mendapatkan gagasan dari kedua pasangan.