REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan, pihaknya pesimistis terhadap kualitas penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia untuk lima tahun ke depan setelah menyaksikan debat pertama capres-cawapres pada Kamis (17/1) malam. Secara keseluruhan, kedua pasangan tidak menawarkan gagasan yang visioner.
"Mereka tidak menawarkan gagasan terkait rule of law di Indonesia, hanya menyampaikan pandangan yang nirsubstansi soal jaminan perlindungan HAM, dan miskin solusi konkret dan segar terkait sejumlah permasalahan hukum HAM yang mendasar," kata dia dalam keterangan pers, Jumat (18/1).
Menurut Ricky, kedua pasangan juga jelas terlihat canggung dan gagap dalam menguraikan pandangan-pandangannya terkait penegakan hukum dan HAM. Hal tersebut tampaknya dilatarbelakangi faktor bahwa kedua pasangan memiliki catatan buruk dalam hal pemenuhan HAM.
Pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin, membuka debat dengan menyatakan visinya dengan mengarahkan isu hak asasi manusia pada aspek-aspek di luar sosial politik seperti akses pada lahan, akses terhadap kesehatan, dan akses terhadap pembangunan. Menurut dia, memfokuskan diri pada isu hak ekonomi, sosial dan budaya, bisa dibilang adalah jalur elaborasi yang aman.
Namun sayangnya, lanjut Ricky, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi hal-hal tersebut juga kerap terlupakan. Misalnya pada mereka yang rentan terkena HIV masih sering mendapatkan diskriminasi di akses kesehatan, tata kelola BPJS yang masih bermasalah, dan juga maraknya pemenjaraan pada pemakai narkotika yang membuat mereka sulit mengakses banyak hal.
"Pasangan nomor urut 1 kemudian menjanjikan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tetapi di sisi lain, pemerintahan Jokowi belum juga berhasil mengungkap dengan terang kasus serangan terhadap Novel Baswedan," tuturnya.
Di sisi lain, Ricky mengatakan pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, tidak memberikan alternatif dan jawaban yang juga meyakinkan. Pasangan itu memberikan narasi sepanjang debat dalam kerangka kesejahteraan dan pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan memunculkan solusi tunggal terkait korupsi dan penegakan hukum yakni peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum.
Menurut Ricky, memperhatikan kesejahteraan penegak hukum adalah hal yang penting, tetapi meningkatkan gaji aparat tidaklah serta merta menurunkan angka korupsi. Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, adalah antitesis paling gamblang dari formula yang Prabowo usung.
"Sekalipun memiliki total pendapatan sebesar 12 miliar rupiah lebih dalam kurun waktu lima tahun, Akil Mochtar tetap melakukan korupsi, dan kemudian divonis seumur hidup," ujarnya.
LBH Masyarakat juga menyayangkan kedangkalan pandangan dan jawaban kedua pasangan calon terkait sejumlah pertanyaan hukum HAM yang penting. Padahal, keduanya mengafirmasi bahwa penegakan hukum yang efektif dan adil akan menjamin pemenuhan HAM dan pemerintahan yang bersih, serta mendukung iklim investasi.
"Sayangnya kedua pasangan calon sama-sama banyak memberikan jawaban yang mengambang dan cenderung hampa yang mencerminkan rendahnya penguasaan masalah," tukasnya.