Jumat 18 Jan 2019 01:45 WIB

Industri Ritel Sedang Berevolusi

Hampir semua segmen ritel mengalami perlambatan pertumbuhan.

Warga keluar gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).
Foto: Republika/Prayogi
Warga keluar gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Melisa Riska Putri

JAKARTA -- Maraknya penutupan sejumlah gerai ritel disebabkan oleh banyak hal. Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menyatakan, industri ritel sedang berevolusi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan perilaku belanja konsumen, khususnya kalangan menengah dan generasi milenial.

Board Director Aprindo Yongki Susilo mengatakan, evolusi yang sedang dilakukan adalah perubahan format dan pengalaman berbelanja. Di segmen grosir, ritel dengan format hypermarket tak lagi menarik bagi konsumen. Begitu pula, dengan supermarket.

"Format hypermarket sudah lama tidak berevolusi. Supermarket juga sedang berevolusi untuk menyesuaikan formatnya. Di industri ritel itu memang ada proses evolusi format," kata Yongki, Kamis (17/1).

Yongki menuturkan, perlambatan pertumbuhan ritel grosir sudah terjadi sejak 2016. Tahun lalu, industri ritel grosir hanya tumbuh satu persen atau di bawah laju inflasi tahunan yang mencapai tiga persen. Pertumbuhan paling rendah terjadi pada ritel berformat hypermarket. Sementara, menurut dia, minimarket memiliki pertumbuhan yang cukup bagus meskipun tak sebaik tahun 2016 ke bawah.

Menjamurnya minimarket memang menjadi tantangan bagi hypermarket dan supermarket. Dengan lokasinya yang banyak tersebar di perumahan-perumahan, minimarket jadi pilihan utama untuk berbelanja kebutuhan sehari-sehari.

Yongki menambahkan, hampir semua segmen ritel mengalami perlambatan pertumbuhan. Di segmen lifestyle, ritel terkena dampak pesatnya perkembangan niaga daring, khususnya untuk sektor fashion  dan gadget. Sebab, masyarakat kelas menengah bawah dan generasi milenial, lebih memilih berbelanja secara daring untuk produk-produk tersebut. "Jadi, jika target pasarnya sama, pasti terkena dampak," kata dia.

Saat ini, ritel berformat department store bisa dibilang lebih mengandalkan konsumen kelas menengah atas. Yongki menyebut, konsumen kelas atas tidak membeli barang-barang fashion melalui niaga daring. Mereka lebih senang berbelanja langsung ke mal. Hal itu terbukti dengan masih bertahannya gerai Central yang berada di Grand Indonesia. "Ada faktor kompetisi dan lokasi. Itu harus diteliti. Central Grand Indonesia masih bagus (penjualannya--red)," ujar dia.

Meski begitu, department store tak bisa selamanya hanya bergantung pada konsumen kelas menengah atas. Inovasi juga harus dilakukan untuk memberikan sensasi berbelanja baru bagi generasi milenial.

Yongki mengatakan, salah satu inovasi yang harus dilakukan department store adalah //seamless shopping// yang sudah banyak diterapkan di negara lain. Dia menjelaskan, konsep seamless shopping pada intinya menawarkan pengalaman berbelanja yang cepat, tidak perlu ke kasir, proses pembayaran barang secara daring, tapi konsumen tetap bisa datang ke toko untuk memilih dan mengambil barang belanjaannya.

\"Proses belanja yang sudah sangat usang harus diubah. Karena, yang paling dibenci konsumen saat berbelanja adalah lama mencari produk dan antre bayar di kasir,\" ujar dia.

Ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro menilai, tutupnya beberapa gerai supermarket salah satunya disebabkan keberadaan minimarket. Dia mengatakan, ritel grosir dengan format supermarket dan hypermarket banyak dibangun pada periode 2005-2015. Namun, yang sering dilupakan adalah berdirinya Alfamart dan Indomaret pada tahun yang sama.

"Tadinya orang tuh senang jalan-jalan ke mal, tapi lama-lama mereka melihat bahwa jalan-jalan ke sana macet dan segala macam. Yang dibelanjakan juga sama sehingga akhirnya terjadi pergeseran," katanya, Rabu (16/1) malam.

Alasan tersebut membuat konsumen beralih untuk berbelanja di minimarket terdekat. "Berarti ritel-ritel yang ada di mal tersebut semakin lama semakin sedikit pasarnya," katanya.

Faktor kedua adalah banyak generasi milenial yang sudah bekerja lebih senang melakukan perjalanan wisata. Sementara itu, gaji mereka tidak terlalu tinggi yang memaksanya untuk menabung dan berhemat, termasuk dalam membeli kebutuhan.

"Mereka tentunya membeli barang kebutuhan ukuran kecidi minimarket ketimbang ritel besar," ujar dia.

Generasi yang lebih tua pun mulai mengikuti gaya hidup travelling. Hal ini membuat perubahan pola belanja dan menabung yang membuat mereka mengurangi belanja di ritel-ritel. "Mulai deh mati satu per satu. Prosesnya berjalan kurang lebih 20 tahun," ujarnya.

Sedangkan faktor terakhir adalah mulai populernya toko-toko yang tidak ada di mal. Misalnya, toko-toko yang menjual peralatan //outdoor//, toko jilbab, dan toko lainnya. Apalagi, mereka juga memasarkan produknya melalui niaga daring. "Jadi makin terdesak lagi dia," katanya.

(ed: satria kartika yudha)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement