Kamis 17 Jan 2019 23:04 WIB

Penggagas Economics Jazz Wafat

Kepergian Tony tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi dunia ekonomi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Tony Prasetiantono (kanan), saat konferensi pers UGM Jazz 2018 di Ruang Multimedia Universitas Gadjah Mada.
Foto: Wahyu Suryana.
Tony Prasetiantono (kanan), saat konferensi pers UGM Jazz 2018 di Ruang Multimedia Universitas Gadjah Mada.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tengah berduka cita. Salah satu pakar ekonomi terbaiknya, Tony Prasetiantono, meninggal dunia pada 16 Januari 2019 malam di Jakarta.

Indonesia memiliki dua festival musik jazz kampus besar. Jazz Goes To Campus (JGTC) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Economics Jazz atau yang belakangan berganti nama menjadi UGM Jazz di Universitas Gadjah Mada.

Jika JGTC yang telah berusia 41 tahun diinisiasi pianis Candra Darusman, maka sosok Tony Prasetiantono menjadi penggagas Economics Jazz yang pada 2018 lalu digelar ke-24 kalinya. Ya, ekonom itu yang membawa semangat jazz ke Yogyakarta.

Sayangnya, 2018 menjadi tahun terakhir Tony memegang komando gelaran tersebut. Uniknya, Economic Jazz tahun lalu turut mempertemukan kedua sosok mengagumkan itu. Ya, Tony mendaulat Candra sebagai salah satu penampil Economics Jazz.

Sebelum konferensi pers UGM Jazz 2018 berlangsung, Tony yang tengah berbincang bersama Candra, mendapat kejutan ulang tahun dari teman-teman panitia. Selama konferensi pers, baik Tony maupun Candra, saling melempar pujian.

"Sudah lama saya ingin berjumpa dengan Mas Tony," kata Candra, di Hotel Tentrem Yogyakarta kala itu tepat di samping Tony, dan keduanya diapit penampil lain seperti Bob James dan Ruth Sahanaya.

Yogyakarta sendiri tidak memiliki begitu banyak festival musik jazz. Economics Jazz menjadi satu dari sedikit festival musik jazz berkaliber besar yang rutin terselenggara.

Diakui atau tidak, kesuksesan gelaran ini bertahan menginspirasi digelarnya festival-festival jazz lain di Yogyakarta. Ya, setelah Economics Jazz, lahir festival-festival seperti Ngayogjazz dan Prambanan Jazz.

Kepada Republika.co.id, Tony sempat mengungkapkan perjuangan mempertahankan gelaran itu. Mulai dari kompromi-kompromi pengisi acara, sampai merogoh kocek sendiri menjadi pengorbanan yang kerap diberikan demi suksesnya Economics Jazz.

Bagi Tony, itu sebanding. Ia berpendapat, memperkenalkan romantisme musik jazz kepada masyarakat Indonesia secara lebih luas lagi menjadi salah satu pelarian menyenangkan dari rutinitasnya sebagai pakar ekonomi.

Tony merasa, musik jazz tidak harus selalu dilihat sebagai musik orang-orang kaya, kelas atas, atau bukan milik rakyat Indonesia. Ia menilai, kejutan dan kerumitan yang dihadirkan jazz yang harus lebih dikenal lebih luas masyarakat.

"Tapi itu tidak apa-apa, memang seperti itu," ujar Tony, kala itu. Tony memang kerap pula mendatangkan penyanyi-penyanyi arus utama, agar Economics Jazz bisa menarik lebih luas kalangan penonton.

Hari ini, jazz di Yogyakarta sudah cukup mampu diterima masyarakat lebih luas. Jazz, tidak lagi terkekang eksklusivitas, mengingat penampil-penampil selalu memberikan sajian berbeda setiap kali tampil.

Setidaknya, itulah yang menjadi awal mula kekaguman Tony kecil terhadap musik jazz. Sambil bercanda, Tony mengatakan, salah satu alasannya mau jadi promotor musik jazz lantaran ingin melihat musisi-musisi yang dulu dikaguminya.

Karenanya, tidak jarang musisi-musisi dunia yang dihadirkan Economics Jazz merupakan musisi jazz legendaris. Hal itu menjadi pelampiasan Tony kecil yang tidak selalu bisa menonton musisi idolanya.

"Dulu tidak punya uang mau nonton ini, mau nonton itu, sekarang malah kita yang menentukan mau mengundang siapa, sekalian saja mengundang yang dulu tidak bisa kita tonton," kata Tony.

Sebagai pengajar, Tony sempat menjadi kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik di UGM pada 2009. Pria kelahiran Muntilan ini telah menjadi dosen sejak 1986 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Selama itu pula, Tony dikenal sebagai pengamat yang handal, dan sangat sering menjadi narasumber media cetak, media elektronik, maupun media daring. Ulasannya kerap jarang menjadi acuan masyarakat menelaah kebijakan ekonomi.

Kepala Humas dan Protokol UGM, Iva Ariani menuturkan, sejak 2011 hingga kini Tony masih menjabat Komisaris Independen PT Bank Pertama. Sebelum itu, Tony merupakan Komisaris Independen PT Bank Mandiri pada 2003-2005.

Pada kesempatan lain, musisi Fariz RM pernah melontarkan keinginannya sejak lama untuk diundang Tony, sampai benar-benar menjadi pengisi Economics Jazz. Sayang, kini Tony telah berpulang.

Tidak akan ada lagi ulasan-ulasan kritis perkembangan musik jazz dunia dan Indonesia dari Tony. Menurut Iva, kepergian Tony merupakan kehilangan yang sangat besar bagi UGM.

"Kita semua tahu beliau memiliki kontribusi yang luar biasa untuk UGM, kami semua mohon doanya agar Pak Tony mendapat tempat terbaik di sisi-Nya," ujar Iva, Kamis (17/1).

Kepergian Tony tentu tidak cuma meninggalkan luka mendalam bagi dunia ekonomi. Lebih dari itu, kepergian Tony merupakan kehilangan besar yang dirasakan dunia musik jazz Yogyakarta.

Jenazah rencananya dibawa ke rumah duka di perumahan Merapi View pada Kamis (17/1) sore. Selanjutnya, proses pemakaman direncanakan dilangsungkan pada Jumat (18/1) siang, di makam keluarga UGM di Sawitsari, Condongcatur, Sleman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement