Kamis 17 Jan 2019 18:15 WIB

11 Kelurahan di Solo Bebas DBD Selama 3 Tahun

Tahun 2018 hanya 24 kasus DBD di Solo selama 1 tahun.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Gita Amanda
Nyamuk Aedes Aegypti penyebab DBD.
Foto: dinsos.jakarta.go.id
Nyamuk Aedes Aegypti penyebab DBD.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo mencatat penurunan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada 2018 dibandingkan 2017. Bahkan, 11 kelurahan dinyatakan bebas DBD selama tiga tahun berturut-turut.

Sekretaris DKK Solo, Purwanti, menyatakan tahun 2019 belum ada laporan kasus DBD. Sedangkan 2018 kasusnya diklaim sangat kecil, atau bisa ditekan dibandingkan 2017.

"Tahun 2018 hanya 24 kasus DBD di Solo selama 1 tahun, dan tidak ada yang meninggal," terangnya kepada wartawan di Balai Kota Solo, Kamis (17/1).

Kasus DBD pada 2018 tersebut masing-masing terjadi di wilayah kelurahan Pajang satu kasus, Karangasem satu kasus, Sondakan dua kasus, Gajahan dua kasus, Kauman satu kasus, Mojosongo enam kasus, Pucangsawit tiga kasus, Banyuanyar tujuh kasus, serta Sumber satu kasus. Penurunan kasus DBD tersebut diklaim cukup signifikan. Sebab, pada 2017 di Solo tercatat ada 146 kasus DBD, dan pada 2016 ada 751 kasus.

"Paling banyak Banyuanyar karena dari tahun ke tahun merupakan daerah endemis. Tapi penurunannya signifikan," ujarnya.

Kelurahan Kadipiro dulu rangking 1 kasus terbanyak pada 2017 dari 206 kasus bisa ditekan menjadi nol pada 2018. Di Kelurahan Kadipiro terdapat program sentolop yang di dalamnya ada gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Salah satunya dengan pemantauan jentik yang melibatkan semua unsur.

Bahkan, DKK mencatat terdapat 11 kelurahan yang dinyatakan bebas DBD selama tiga tahun berturut-turut. Sebelas kelurahan tersebut yakni, Laweyan, Pasar Kliwon, Kampung Baru, Kedung Lumbu, Purwodiningratan, Gandekan, Kepatihan Kulon, Kepatihan Wetan, Punggawan, Ketelan, dan Timuran.

"Ada reward. Kami beri penghargaan uang Rp 3 juta. Biasanya dikembalikan lagi ke masyarakat untuk kegiatan kerja bakti atau gerakan-gerakan kebersihan," ujarnya.

Menurutnya, faktor penurunan tersebut karena upaya yang sudah dilakukan dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. "Sejak 2017 kami mengimplementasikan strategi Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (juru pemantau jentik)," ungkapnya.

Dalam program tersebut, ada kegiatan pemantauan jentik yang dipantau tidak hanya oleh kader tetapi melibatlan koordinator jumantik tingkat RW dan pemilik rumah. Pemantauan jentik dilakukan sepekan sekali. Di depan rumah ada lembar pemantauan jentik. Pemilik rumah diharapkan mengawasi sendiri bak-bak penampungan air kemudian mengisi lembar pemantauan jentik.

Faktor cuaca juga dinilai berpengaruh terhadap penurunan kasus DBD. Pada 2018, musim kemarau lebih panjang. Meski sudah mengalami penurunan signifikan, Purwanti menegaskan kepada petugas Puskesmas agar terus waspada dan tidak lengah dengan hasil 2018. Dia berharap agar bisa ditingkatkan agar terus terjadi penurunan kasus DBD.

"Karena ini sudah mulai musim. Apalagi di beberapa daerah sudah mulai ada kasus DBD," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) DKK Solo, Efi S Pertiwi, menambahkan, 11 kelurahan tersebut jika pada 2019 juga bebas DBD maka akan diberikan penghargaan lagi oleh Pemkot. Penghargaan diberikan bagi kelurahan yang bebas DBD selama tiga tahun berturut-turut. "Dulu diberikan setiap tahun karena susah sekali untuk tiga tahun berturut-turut. Harapannya dengan seperti ini kelurahan menjadi termotvasi bisa nol-nol-nol terus kasus DBD," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement