REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai segmen keempat dan kelima debat Pilpres 2019 akan ditunggu-tunggu oleh publik. Sebab, segmen tersebut berpeluang menjadi atraktif.
Pada kedua sesi itu, masing-masing paslon akan saling bertanya dalam bentuk pertanyaan tertutup. Apa yang akan ditanyakan oleh paslon 01 tidak diketahui sebelumnya oleh paslon 02, dan begitu sebaliknya.
"Di sini, orisinalitas pemikiran, imajinasi, argumentasi, retorika, spontanitas, serta gestur atau refleks para calon pada saat menjawab pertanyaan akan dapat dinilai secara objektif oleh Pemilih," kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis (17/1).
Menurut Said, pada segmen keempat dan kelima itulah akan muncul sensasi bagi Pemilih. Dari dua segmen itu pula dinilai akan terbangun persepsi di kalangan pemilih yang berpeluang mempengaruhi elektabilitas paslon.
Said mengatakan, segmen pertama berupa penyampaian visi, misi, dan program itu sifatnya hanya formalitas. Apa yang akan disampaikan oleh para capres-cawapres cenderung sudah diketahui oleh masyarakat, sebab materinya sudah dipublikasikan oleh KPU dan media.
"Begitu pun dengan segmen kedua dan ketiga debat dalam bentuk tanya-jawab antara Panelis dan para paslon. Dua sesi akan kurang menarik, sebab pertanyaan yang diajukan oleh Panelis bersifat terbuka," tuturnya.
Ketika pertanyaan yang diajukan Penelis sudah diketahui sebelumnya oleh para paslon, kata Said, maka jawaban yang akan disampaikan oleh capres-cawapres pada sesi debat nanti menjadi tidak autentik lagi. Sebab, hampir dapat dipastikan jawaban-jawaban itu tidak sepenuhnya berasal dari otak para calon sendiri.
"Karena sudah bercampur dengan pemikiran dari tim sukses masing-masing. Jawaban-jawaban yang sudah dipersiapkan dan ditata sedemikian rupa sudah barang tentu dapat menghilangkan orisinalitas dan spontanitas berpikir para capres-cawapres," ujarnya.
Akibatnya, kata Said, di segmen kedua dan ketiga debat nanti publik akan sulit mengukur kedalaman dan keluasan pemikiran serta argumentasi yang tulen dari para calon. Pemilih tidak dapat menilai kemampuan retorik, gestur, atau refleks yang natural dari para calon pada saat menjawab pertanyaan panelis.