REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rifda Syifa dan Dian Erika
Jam di tangan saya menunjukkan angka dua lebih tiga puluh menit. Siang itu, cuaca di Jakarta cukup terik. Tumben-tumbennya jalanan terlihat agak lengang dari biasanya.
Saya merasakan angin berhembus sedang-sedang saja. Tapi itu sudah cukup untuk membuat baliho berukuran 2X1 meter berkibar di trotoar Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Senin (14/1).
Baliho itu menampilkan wajah calon legislatif muda DPR-RI Dapil DKI Jakarta II nomor urut 1 dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany Alatas. Baliho itu terikat ke pepohonan dengan tali rafia berwarna hijau.
Saya mengamati secara seksama baliho yang menutupi sebagian permukaan pohon. Baliho ditopang bambu yang menancap ke tanah. Di tanah itu pula tampak akar-akar yang menopang kehidupan pohon.
Saya terpaku menatap baliho itu. Di sebelah baliho itu ada rumput-rumput yang sebagian agak layu. Rumput dan pepohonan itu sejatinya hanya secuil dari ruang terbuka hijau yang tersisa di Jakarta. Namun ruang yang tinggal secuil itu pun tak luput dari jamahan spanduk politikus yang sedang berkampanye menyambut Pemilu Legislatif dan Presiden 2019.
Pohon yang diikat alat peraga kampanye
Tak hanya Tsamara dan tak hanya di Warung Buncit, fenomena ini juga dilakukan hampir setiap caleg di pelosok Indonesia. Pemandangan pepohonan yang dimanfaatkan untuk mengikat dan menempel alat kampanye adalah hal yang jamak terjadi di negara ini.
Berjarak dua kilometer dari baliho Tsamara, ada spanduk milik caleg DPRD Partai Nasdem, Nova Paloh. Spanduk ukuran 2 X 0,5 meter itu terikat kuat ke sebuah tanaman hijau di Jalan Kemang Raya.
Spanduk diikat dengan sebuah tali rafia ke batang tumbuhan yang ditanam di sebuah pot berwarna hijau. Daun di tanaman itu tampak ikut terikat tali spanduk sang caleg.
Selama semenit saya mengamati bagaimana mahluk hidup dipaksa menopang hasrat manusia yang sedang beradu visi, misi, dan ambisi. Walhasil, hajatan politikus Indonesia di tahun 2019 mesti memanfaatkan media mahluk hidup lain untuk diikat, ditancapkan bambu, hingga dipaku.
Fasilitas publik
Saya lantas berjalan kaki untuk mengamati lokasi lain. Berjarak 2,5 kilometer dari lokasi itu, saya kembali mendapati kondisi yang menganggu pandangan mata.
Sebuah baliho milik politikus tampak terikat ke samping tiang lampu lalu lintas di Duren Tiga Selatan. Lagi-lagi baliho milik Tsamara. Di kanan baliho caleg PSI itu, ada spanduk dengan wajah yang sama menutupi sebagian dari permukaan tiang listrik.
Sesaat setelah mengamati spanduk politikus milenial yang mengaku antikorupsi itu, saya terus berjalan maju. Baru saja melangkah kurang dari lima meter, saya kembali menemukan alat peraga kampanye yang diikat di fasilitas publik. Kali ini milik caleg DPRD Dapil DKI Jakarta 8 nomor urut II dari Partai Golkar, Muhammad Anwar.
Bukan hanya spanduk Tsamara dan Anwar, tapi beragam spanduk milik politisi lain memenuhi ruang hingga fasilitas milik publik. Tak cukup rasanya lembar halaman atau waktu untuk menulisnya satu per satu.
Batang pohon dan daun yang ikut terikat alat peraga kampanye caleg
Maraknya pohon yang menjadi media kampanye politikus menjadi buah dari tidak adanya aturan spesifik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Subjek dan objek dari aturan KPU terkait alat peraga kampanye hanya seputar sisi manusia. Sedangkan dari sisi lingkungan hidup peraturannya masih sangat terbatas.
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 pasal 34 ayat satu hanya menjelaskan bahwa lokasi yang dilindungi dari media kampanye hanyalah area rumah ibadah, fasilitas kesehatan, pendidikan, serta gedung lembaga pemerintah.
PKPU itu juga hanya menjelaskan secara umum bahwa pemasangan alat kampanye harus memperhatikan estetika.
Di sisi lain, Surat Keputusan KPU DKI juga hanya mengatur kawasan tertentu yang dilarang dipasangi alat peraga kampanye. Lagi-lagi tak ada aturan khusus yang secara spesifik melindungi lingkungan selama masa kampanye.
Aturan KPU tentang alat peraga kampanye
"Sudah ada kesepakatan bersama antara KPU dan Bawaslu mana lokasi yang boleh dan ga boleh. Itu contohnya yang di jalan-jalan protokol. Tapi (alat peraga kampanye di pohon) itu ditertibkan oleh Pemda lewat satpol PP. Jadi wewenang penertiban di masing-masing Pemda," ujar Afifuddin.
Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo angkat suara terkait banyaknya fasilitas publik yang dipakai untuk mengikat spanduk alat peraga kampanye. Fenomena jamak ini, kata Adnan, menandakan minimnya etika yang dimiliki oleh para caleg.
Menurutnya, banyak caleg yang menyuarakan jargon antikorupsi, tapi nyatanya hanya bualan semata. “Etika dan estetika itu merupakan bagian dari nilai-nilai anti korupsi yang melekat pada diri setiap orang. Kalau cara-caranya sudah dianggap melanggar hukum, aturan, ketertiban dan sebagainya, lalu bagaimana mereka bisa bicara anti korupsi ketika terpilih nanti,” kata Adnan.
Suara yang lebih keras datang dari pengamat lingkungan di Universitas Indonesia Tarsoen Waryono. Menurutnya, kasus caleg yang memanfaatkan pohon dan tanah di sekitarnya untuk menempatkan alat peraga kampanye merupakan aksi yang mencederai hak asasi tumbuhan.
Ia merasa prihatin mengingat betapa pentingnya peranan pepohonan bagi kehidupan seluruh mahluk di bumi. Dia sangat menyesalkan mengapa pohon dan ruang terbuka hijau yang jumlah sangat terbatas, masih harus dirusak dengan ambisi para caleg.
“Dari segi estetika, pepohonan yang tumbuh secara bebas sebagai jalur hijau jalan, kini menjadi hilang nilai estetikanya, karena bercampur dengan berbagai tanda gambar yang sengaja dipasang dan mengganggu pepohonan,” ujar Tarsoen.
Tarsoen juga menghimbau kepada para politikus agar memberi arahan langsung terkait etika pemasangan baliho dan spanduk kampanye. Jangan sampai karena ambisi sesaat harus merusak kehidupan mahluk lain yang sejatinya juga punya hak untuk hidup.
Menurutnya, disadari oleh tidak, para politikus itu sudah bergantung kehidupannya dari pohon. Karena alasan itu, politikus itu justru harus memperjuangkan nasib pohon dan tumbuhan-tumbuhan di parlemen. Bukan justru merusaknya hanya demi kepentingan properti kampanye.
“Jika dinilai dengan rupiah berapa besar pepohonan yang memberikan kehidupan bagi manusia. Untuk itu hitunglah umur masing-masing orang berapa tahun, berapa bulan, berapa hari dan berapa jam, serta berapa menit," ujarnya.
Tarsoen merujuk pada biaya oksigen yang dijual Rp 210 per menit di rumah sakit. Sedangkan pohon memberinya cuma-cuma. "Itulah sumbangan alam secara mutlak dari pepohonan kepada manusia. Hal tersebut mengingat bahwa pabrik oksigen di dunia hanya ada di daun pepohonan,” jelasnya.
Data dan manfaat pohon di Jakarta