REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pada Selasa (15/1), menyampaikan laporan pemantauan terkait kasus kekerasan terhadap Novel Baswedan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koalisi ini terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, Kontras, Lokataru Foundation, ICW, LBH Pers, PSH KAMAR, PUSaKO FH Universitas Andalas, dan Pukat UGM.
Ada beberapa temuan dari laporan tersebut. Salah satunya, serangan terhadap Novel patut dicurigai adalah pembunuhan berencana. Indikatornya bisa dilihat dari motif serangan, modus serangan, dampak serangan, dan pelaku serangan.
Laporan itu menyebutkan, motif serangan yakni bertujuan untuk memperingatkan dan juga membungkam Novel secara langsung serta menghambat kerja-kerja KPK terutama yang melibatkan Novel. Selain itu, serangan tersebut juga sebagai balasan atas tugasnya menjalankan kewajiban sebagai penyidik KPK.
Untuk modus serangan, koalisi tersebut melaporkan bahwa, serangan terhadap Novel dilakukan berulang-ulang kali sejak 2011, 2012, 2015, 2016, dan 2017. Serangan ini umumnya terjadi pada saat Novel sedang menangani kasus atau setelah menangani kasus. Penyiraman air keras pada 11 April 2017, terjadi saat Novel sedang menangani kasus korupsi KTP-elektronik.
Laporan koalisi juga menyatakan, serangan dengan air keras terhadap Novel dilakukan secara terencana dan sistematis. Dimulai dari penentuan waktu di mana saat itu Novel sedang berjalan sendiri usai shalat Subuh, penentuan lokasi yang tidak terjangkau mata publik secara langsung, pelibatan banyak pihak seperti orang bayaran dan aparat hukum, hingga tahapan serangan. Tahapan ini ialah pemetaan aktivitas sehari-hari, pemantauan situasi di sekitar rumah, sampai mengaburkan bukti.
Sementara, untuk dampak serangannya, yaitu penyiraman air keras tersebut menyebabkan gangguan kesehatan serius. Novel juga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai penyidik KPK dalam memberantas korupsi lantaran harus menjalani pengobatan selama 1 tahun lebih.
Dalam laporan itu koalisi juga menemukan, ada banyak aktor yang terlibat dalam serangan terhadap Novel. Mereka terorkestrasi secara rapi, sehingga semua terhubung meski tidak selalu saling mengenal.
Berdasarkan temuannya, koalisi tersebut merekomendasikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi kinerja kepolisian dalam menangani kasus Novel dan mengambil alih kasus tersebut dari Polri dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Koalisi itu juga memberikan rekomendasi kepada Polri untuk memberikan laporan perkembangan kasus Novel secara rinci atas serangan terhadap penyidik, penyelidik, staf KPK, yang telah dilaporkan ke polisi, kepada Presiden Jokowi.
Namun, seperti diketahui, bukan TGPF yang dibentuk oleh Mabes Polri. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyetujui pembentukan tim gabungan untuk mengusut kasus Novel Baswedan. Pembentukan tim gabungan itu ditandai dengan surat yang ditandatangi Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 tertanggal 8 Januari 2019.
Surat perintah itu menindaklanjuti rekomendasi tim Komnas HAM. Tim tersebut terdiri dari 65 anggota yang terdiri dari Polri, KPK, berbagai ahli dan tokoh masyarakat.
Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa, Tito Karnavian berlaku sebagai penanggung jawab dengan wakil penanggung Jawab Wakapolri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Sementara, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis berlaku sebagai Ketua tim, dengan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Nico Afinta sebagai ketua.
Adapun, sejumlah ahli yang dilibatkan dalam tim tersebut di antaranya peneliti LIPI Hermawan Sulistyo, Ketua Umum Ikatan Sarjana Hukum Indonesia Amzulian Rivai, Ketua Setara Institut Hendardi, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, Komisioner Komnas HAM periode 2012 - 2017 Nur Kholis. Dari KPK, terdapat lima penyidik yang dilibatkan.
Baca Juga
- Tim Gabungan Kasus Novel Dinilai Dibentuk demi Debat Capres
- Jokowi Siap Bahas Kasus Novel di Debat Capres
- Polri Klaim Propam Sudah Periksa Iriawan Soal Novel
Respons Novel
Novel Baswedan menyatakan, pembentukan tim gabungan oleh Polri tidak sesuai dengan yang diminta selama ini. Menurutnya, pembentukan tim gabungan itu tak ada bedanya dengan yang pernah ada sebelumnya.
"Pembentukan tim gabungan ini tidak sesuai yang kami minta. Kalau penyidiknya saja diberi surat tugas baru, rasanya permasalahannya bukan di situ," ujar Novel di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (15/1).
Novel mengingatkan, ia dan koalisi masyarakat sipil meminta dibentuknya tim gabungan pencari fakta (TGPF). Sebab, ada bukti dan fakta bahwa proses penyidikan yang dilakukan tidak sungguh-sungguh mengungkap pelakunya. Karena itu, yang diminta dibentuk adalah tim gabungan pencari fakta, bukan tim penyelidik dan penyidik.
"Ini yang kami pertanyakan, bedanya apa dengan yang sebelumnya. Okelah ini baru dibentuk. Kita akan menilai apakah tim ini bekerja dengan benar atau tidak, indikatornya adalah bisa enggak ini diungkap dengan benar," ujar dia.
Novel mengkhawatirkan munculnya kesan seolah-olah beban pembuktian diberikan kepada dirinya karena ada kesengajaan untuk tidak mengungkap kasusnya. Dia mempertanyakan, sejak kapan penyidikan investigasi perkara kejahatan dibebankan kepada korban.
"Sejak kapan ada suatu teror yang diduga ada aktor intelektual di baliknya kemudian dimulai dari motif dulu. Di dunia rasanya tidak ada. Saya penyidik dan saya paham soal itu," katanya.
Novel juga meminta agar pembentukan tim gabungan tersebut tidak sekadar memenuhi rekomendasi Komnas HAM. Jika itu yang terjadi, tentu itu hal yang sangat buruk dan menunjukkan pemerintah tidak peka. Novel berharap Presiden Jokowi memperhatikan ini dan jangan dibiarkan.
"Di beberapa kesempatan ada aparatur, pejabat pemerintah yang ber-statement seolah-olah serangan kepada pegawai KPK adalah kasus biasa. Ini menyedihkan. Bahkan pejabat kita tidak paham bahwa orang yang berjuang memberantas korupsi adalah pejuang HAM," tuturnya.
Meski begitu, Novel mengaku akan bersedia bila nantinya ia dimintai keterangan oleh Tim Gabungan Polri. Namun ia meminta syarat, yaitu tim tersebut berkomitmen untuk mengungkap semua serangan yang dialami pegawai KPK.
Menurut Novel, ada dua kemungkinan jika ia memberi keterangan. Pertama akan ditangani sungguh-sungguh. Kedua, hanya akan digunakan untuk menghapus jejak lebih sempurna. Karena itu, sangat wajar apabila ia meminta ada pengungkapan yang serius terhadap serangan-serangan yang terjadi pada pegawai KPK lainnya.
"Saya pernah menyampaikan beberapa bukti penyerangan yang terjadi pada saya, apakah karena kesengajaan atau kelalaian, hilang. Beberapa CCTV yang seharusnya dapat, tidak ada. Beberapa alat bukti sidik jari, tidak ada. Handphone terduga pelaku tidak diambil, tidak diamankan, dan tidak dilakukan pemeriksaan, dan bukti-bukti lain yang ada di Komnas HAM," jelasnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo meminta agar publik bersabar dan menunggu kinerja tim gabungan penanganan kasus Novel Baswedan untuk membuktikan profesionalitasnya. Belakangan, tim gabungan menuai kritik lantaran pembentukannya dinilai memiliki unsur politis.
"Tolong berikan kesempatan pada tim gabungan yang dibentuk Bapak Kapolri, untuk bekerja secara profesional," kata Dedi di Jakarta, Selasa (15/1).
Dedi mengatakan, penanganan setiap kasus tidak sama dan memiliki kerumitannya sendiri. Tim gabungan yang dibentuk atas rekomendasi Komnas HAM ini akan bekerja secara komprehensif termasuk menerima saran dari sejumlah pihak dan menganalisis temuan-temuan dalam kasus yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
"Semuanya fokus dan komitmen dalam mengungkap kasus ini," tegasnya.
Infografis Kasus Novel Baswedan