Rabu 16 Jan 2019 13:30 WIB

Muhammadiyah Setuju Polisi Hukum Pengguna Jasa Prostitusi

Manager menilai tidak adil jika pengguna jasa prostituti tidak terkena sanksi hukum.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah - Maneger Nasution
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah - Maneger Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution setuju jika pihak kepolisian tidak hanya sanksi hukum tidak hanya berlaku untuk pelaku penjual jasa prostitusi dan mucikarinya. Menurutnya, pengguna jasa prostitusi daring, juga perlu dijerat dengan pasal yang lebih berat.

 

Muhammadiyah, kata dia, sangat sepakat bila polisi tidak hanya menghukum pelaku prostitusi online dan mucikarinya, pengguna jasanya juga harus dihukum. Kalau perlu dibuka dipublik sebagai pembelajaran kedepan.

 

"Masa yang ditangkap dan dihukum yang jual jasa saja, pembeli dan penggunanya juga harus diberi sanksi," katanya kepada wartawan Rabu (16/1).

 

Memang, Maneger menyadari disitulah ada kelemahan di aturan hukumnya. Dimana pengguna prostitusi tidak ada dikenakan pasal dalam UU perdagangan manusia. Namun, menurutnya polisi seharusnya bisa progresif, menggunakan pasal lain untuk menjerat pengguna jasa prostitusi online ini.

 

Seharusnya ada banyak pasal untuk menjerat pengguna jasa prostitusi online ini, seperti pasal asusila dan perzinahan. Kalau tidak kasus prostitusi online ini hanya menyasar penjual jasa prostitusinya, baik wanita atau mucikarinya.

 

"Ini sangat tidak berkeadilan, karena penggunanya ternyata bebas dan tidak dikenakan sanksi hukuman," ujarnya.

 

Jika polisi hanya mengejar pihak penjual jasa prostitusinya atau mucikarinya, wajar apabila prostitusi daring ini terus berkembang. Karena pasarnya tetap ada. Ia berharap aparat kepolisian menegakkan hukum hanya dari sisi legalistik saja, tapi ada hal lain soal moral dan asusila.

 

"Sehingga pasal yang dikenakan bisa lebih banyak, untuk menjerat pengguna jasa prostitusi online tersebut," imbuhnya.

 

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur KH Abdussomad Buchori berpendapat kasus prostitusi daring, bukan hanya menjerat mucikarinya saja melainkan juga pemberi jasa dan pengguna jasa prostitusi juga bisa dijerat hukum. Maka dari itu, Abdussomad mendesak agar DPR segera membuatkan undang-undang yang bisa menjerat pemberi dan pengguna jasa prostitusi. Desakan ini dimaksudkan agar mereka yang biasa menjajakan diri dan penggunanya, bisa mendapat efek jera.

Seperti diketahui, Polda Jatim mengungkap kasus prostitusi daring yang melibatkan artis setelah melakukan penggerebekan di sebuah hotel bintang lima di Surabaya, Sabtu (5/1). Setelah dikembangkan, diketahui ada sekitar 45 artis dan 100 model yang diduga terlibat dalam jaringan prostitusi daring yang dikendalikan muncikari TN dan ES. Berdasarkan spesialisasi, muncikari ES mengendalikan 45 artis, dan muncikari TN membawahi ratusan model untuk dijajakan bagi pria hidung belang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement