Rabu 16 Jan 2019 05:47 WIB

'Bergugurannya Toko-Toko Ritel Kami'

Disrupsi digital memicu munculnya niaga daring.

Warga keluar gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).
Foto: Republika/Prayogi
Warga keluar gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adinda Pryanka, Idealisa Masyarafina

JAKARTA -- Perubahan perilaku masyarakat dalam berbelanja memengaruhi perusahaan ritel. Konsumen yang kini lebih gemar berbelanja melalui niaga daring membuat gerai ritel yang ditutup semakin banyak.

Dampak perubahan perilaku konsumen itu kini dirasakan PT Central Retail Indonesia. PT Central akan menutup gerai Central Department Store Neo Soho yang berada di kawasan Grogol, Jakarta, pada Jumat (18/2).

PR Department Manager PT Center Retail Indonesia Dimas Wisnu Wardana mengatakan, semenjak Central Neo Soho beroperasi, perusahaan selalu berupaya agar toko tersebut berkembang dengan hasil maksimal, baik dari segi bisnis maupun komersial.

"Tapi, setelah mengamati tren belanja konsumen yang bergeser pada sistem lebih cepat dan efisien, perusahaan memutuskan untuk menutupnya," kata Dimas kepada Republika, Selasa (15/1).

Dimas menambahkan, perusahaan akan berfokus pada gerai lain yang berada di Grand Indonesia, Jakarta. Segala sumber daya yang dimiliki PT Central dipusatkan ke gerai yang ada di sana.

Sumber daya tersebut termasuk karyawan yang selama 2,5 tahun sudah bekerja di Central Neo Soho. Perusahaan memastikan tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja bagi karyawan di Central Neo Soho.

"Kami mentransfer mereka ke Central Grand Indonesia," kata Dimas.

Selain fokus ke toko di Grand Indonesia, Dimas menambahkan, pihaknya sedang memperkuat sistem penjualan dengan konsep omni channel melalui aplikasi pesan Whatsapp dan Line. Layanan daring itu diberi nama Central On Demand.

Dimas menjelaskan, keputusan menutup Central Neo Soho tidak dilakukan secara instan. Perusahaan selalu menganalisis perkembangan gerai mereka per tahun.

"Karena, tren bisnis yang shifting ke sistem yang lebih cepat dan efisien itu, mulai awal tahun 2018 kami meluncurkan layanan belanja melalui Central on Demand," ucapnya.

Penutupan Central Neo Soho disebut dia tak lantas mematikan langkah PT Center Retail Indonesia untuk berekspansi. Dimas mengklaim, penambahan gerai di Indonesia sudah masuk dalam rencana perusahaan.

Akan tetapi, kata dia, rencana itu tak akan dilakukan dalam waktu dekat. Saat ini, PT Central hanya ingin fokus menjalankan omni channel dan pengembangan gerai Central Grand Indonesia.

Dua faktor

Pengamat perilaku konsumen sekaligus Managing Partner lembaga riset Inaventure, Yusowhady, menilai menurunnya kekuatan ritel yang hanya memanfaatkan toko sebagai tempat berjualan atau dikenal sebagai ritel tradisional sudah terlihat sejak 2017. Saat itu, pusat perbelanjaan, seperti Glodok dan Roxi, mulai sepi. Gerai Matahari dan Ramayana yang biasa dipenuhi konsumen pun tutup secara bertahap.

Redupnya kekuasaan ritel tidak hanya berlaku pada perusahaan lokal. Peritel global, seperti H&M, Lotus, hingga Dabenhams menghentikan operasinya. Menurut Yuswohady, ada dua kekuatan disruptif yang menyapu sektor ritel tradisional.

"Disrupsi digital dan pergeseran preferensi konsumen," jelas Yuswohady, Selasa malam.

Disrupsi digital memicu munculnya niaga daring yang saat ini telah menjadi semakin mainstream. Ada tiga nilai yang ditekankan platform ini sehingga mampu mengubah perilaku belanja konsumen dari luring ke daring.

Nilai tersebut adalah convenience (kenyamanan), cost (biaya lebih murah), dan time-efficient (efisiensi dari segi waktu).

Faktor kedua, pergeseran preferensi konsumen dari konsumsi berbasis produk ke konsumsi berbasis pengalaman, terutama di kalangan milenial. Tren ini membuat masyarakat memutuskan mengurangi belanja barang di sejumlah ritel secara perlahan, seperti baju, sepatu, atau tas.

"Mereka beralih ke traveling ke tempat baru," tutur Yuswohady.

Satu hal yang dibutuhkan para peritel adalah inovasi. Namun, Yuswohady menilai, para peritel di Indonesia belum menjadikan inovasi sebagai prioritas. Termasuk Sevel yang dulu sempat dinilai sebagai "gebrakan" di antara paceklik ide bisnis segar industri ritel nasional kala itu.

Menurut Yuswohady, inovasi bukanlah lomba lari cepat 100 meter, melainkan lomba lari maraton. Artinya, setelah sebuah inovasi besar diwujudkan, masih dibutuhkan inovasi kecil dalam kurun waktu panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement