REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kajian kegempaan di sekitar lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru dilakukan secara detail. Proses survei berjalan sangat detail sehingga hasil kajian turut merekam potensi gempa-gempa kecil yang tidak terdata oleh lembaga lain.
Pernyataan ini disampaikan ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Didiek Djawadi saat menjadi saksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Senin (14/1). Sidang dipimpin hakim Jimmy Clause Pardede dengan hakim anggota, Efriandi dan Selfi Ruth Yaroodh.
Dalam sidang tersebut, Didiek menjawab pertanyaan hakim tentang tahapan analisis kegempaan yang dilakukan. Didiek yang juga tenaga ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) menyatakan, secara bertahap ada beberapa kali penelitian yang dilakukan. Pada 2012 dilakukan penelitian menggunakan georadar untuk mengetahui kondisi jalur sepanjang 13 kilometer yang akan digunakan untuk terowongan.
"Kemudian 2014 dilakukan untuk mengetahui gerakan-gerakan atau gempa kecil yang tidak terekam oleh BMKG. Sehingga kita tahu pola kegempaan yang ada di situ, yang gempanya kecil," kata Didiek.
Didiek menjelaskan, istilah teknis secara gamblang dan dipahami umum, dua penelitian itu pun belum dipandang cukup karena belum tahu besaran potensi gempa yang akan terjadi. Maka itu pada 2016 ditindaklanjuti dengan penelitian Seismic Hazard Analysis dan desain parameter untuk goncangan gempa terhadap bendungan.
"Jadi itu adalah rangkaian yang dilakukan. Penelitian yang terakhir itu melengkapi penelitian-penelitian terdahulu. Tidak ada rekomendasi yang berbeda, karena jenis penelitiannya berbeda," ujarnya.
Hasil penelitian-penelitian tersebut, kata Didiek, jika dirangkum didapat kesimpulan lokasi PLTA Batangtoru berada di tempat yang aman terhadap guncangan gempa.
Pemantauan Orangutan
Dalam sidang yang sama, hadir juga saksi ahli dari pihak penggugat. Pengajar dari Liverpool John Moores University, Serge Wich yang menyatakan, kawasan di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali di Tapanuli Selatan ada sekitar 40 individu orangutan. Orangutan di sana, menurut Wich, mengandalkan pakan dari tumbuhan khas yang ada di sana.
Pendapat ini memperkuat pernyataan serupa yang pernah disampaikan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno. Dia menegaskan, KLHK memiliki pehatian penuh untuk memastikan kelestarian orangutan yang ada di bentang alam Batangtoru. Salah satu caranya adalah memastikan ketersediaan pakan bagi orangutan.
“Pergerakan orangutan ini tergantung pakannya,” kata Wiratno yang menyebutkan, ada tim KLHK yang terus berada di lapangan untuk memantau dan memastikan kelestarian orangutan.
Berdasarkan hasil pemantauan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli, habitat Orangutan tapanuli di kawasan Batangtoru tersebar pada tiga blok terpisah, yakni blok barat, timur, dan selatan. Populasi orangutan terbanyak berada di blok barat, yang mengarah ke Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara, diikuti blok timur, yakni wilayah cagar alam (CA) Sipirok di Tapsel.
Adapun populasi orangutan terendah berada di blok selatan, terutama CA Sibual-buali, yaitu 0,41 individu per kilometer persegi. Kawasan blok selatan yang minim jumlah individu orangutan itu berbatasan dengan areal penggunaan lain (APL), yang merupakan lahan perkebunan rakyat.