REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Kasus perkawinan anak di Kabupaten Indramayu tinggi. Dibutuhkan peran dan kerja sama berbagai pihak untuk mengatasi kondisi tersebut.
Sekcab Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kabupaten Indramayu, Yuyun Khoerunnisa, menjelaskan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Kabupaten Indramayu menempati urutan lima daerah di Jawa Barat yang memiliki angka perkawinan anak tertinggi. Sedangkan untuk angka pastinya, pihaknya masih melakukan pendataan.
Sejauh ini, Yuyun mengatakan, pihaknya baru mendata jumlah perkawinan anak di tiga desa di Kabupaten Indramayu. Yakni Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang, Desa Cibeber Kecamatan Sukagimiwang dan Desa Gelarmandala, Kecamatan Balongan.
‘’Dari tiga desa itu, di salah satunya desanya saja, angka perkawinan anak mencapai sekitar 15 kasus per tahun. Bayangkan di seluruh desa di Kabupaten Indramayu (317 desa), akan berapa banyak kasusnya?,’’ kata Yuyun, Ahad (13/1).
Yuyun menyebutkan, banyak faktor penyebab terjadinya perkawinan anak. Salah satu faktor utamanya adalah kemiskinan. Orang tua yang memiliki tingkat ekonomi yang lemah, memilih mengawinkan anaknya untuk mengurangi beban mereka.
Selain itu, lanjut Yuyun, adanya kekhawatiran dari orang tua akan kemungkinan anaknya berbuat zina atau hamil di luar nikah, menjadi alasan lain terjadinya perkawinan anak. Padahal, untuk mencegah perzinaan dan pergaulan bebas, semestinya dilakukan dengan mendorong anak-anak mereka pada pergaulan dan kegiatan yang positif.
‘’Bukan dengan cara mengawinkan anak,’’ tegas Yuyun.
Yuyun menyatakan, perkawinan anak akan menimbulkan berbagai dampak buruk. Selain memicu kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual pada perempuan, perkawinan anak juga bisa menimbulkan kemiskinan, kriminalitas, dan tingginya angka kematian ibu dan bayi.
‘’Perkawinan anak akan merenggut hak anak untuk mendapat pendidikan maupun hak bermain. Semua hak itu akan hilang saat anak dikawinkan,’’ terang Yuyun.
Kondisi tersebut, terutama akan dialami oleh anak perempuan yang dikawinkan. Di saat anak perempuan itu belum siap mengurus dirinya sendiri, dia juga harus mengurus suami dan anaknya.
Yuyun menegaskan, KPI Kabupaten Indramayu sudah berkomitmen untuk mencegah perkawinan anak. Komitmen tersebut dilakukan secara berjejaring dengan berbagai pihak lainnya, terutama Dinas Pendidikan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Indramayu.
Komitmen bersama itu dinyatakan bersama dalam kegiatan Deklarasi Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Indramayu, yang diadakan di salah satu hotel di Indramayu, Jumat (11/1) lalu. ‘’Kami berkomitmen bahwa praktek perkawinan anak di Indramayu harus dihentikan dari sekarang,’’ tegas Yuyun.
Komitmen tersebut akan ditindaklanjuti dengan terus bergerak menggencarkan sosialisasi di semua wilayah di Kabupaten Indramayu. Mereka pun menggandeng pemerintah desa untuk bersama-sama menghentikan praktek perkawinan anak.
Yuyun menilai, peran pemerintah desa sangat penting untuk mencegah perkawinan anak. Dia mencontohkan, di Desa Krasak, kepala desanya saat ini sudah membuat surat edaran untuk mencegah perkawinan anak dan mewajibkan anak mengikuti wajib belajar 12 tahun.
Selain itu, di Desa Jatisawit, pemerintah desanya juga sudah mengadakan sosialisasi mencegah perkawinan anak dengan menggunakan anggaran dana desa (ADD). Dia menyebutkan, pemerintah desa bisa mengakses ADD untuk pencegahan perkawinan anak.
Yuyun menambahkan, pihaknya juga mendorong pemerintah daerah Indramayu untuk merevisi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Pasalnya, dalam perda tersebut, masih bersifat umum dan belum memasukkan soal perkawinan anak.
‘’Kami ingin perda itu direvisi, salah satunya dengan memasukkan soal pendewasaan usia perkawinan anak,’’ terang Yuyun.
Seperti diketahui, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan usia perkawinan perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa usia anak adalah 0-18 tahun.
‘’Kami ingin dalam revisi perda nantinya mengatur tentang pendewasaan usia perkawinan anak yang mengacu pada UU Perlindungan Anak,’’ tukas Yuyun.
Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) wilayah Jawa Barat, Darwini, mengaku prihatin melihat kasus pernikahan anak. Pasalnya, tak jarang akhirnya perempuanlah yang akan menjadi korbannya. Untuk itu, dibutuhkan perhatian serius dari semua pihak untuk menghentikan perkawinan anak.
‘’Ini merupakan tanggung jawab bersama,’’ tandas Darwini.