Ahad 13 Jan 2019 12:33 WIB

Perang Merenggut Masa Kanak-Kanak di Yaman

Bencana kemanusiaan di Yaman disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia

Seorang anak Yaman yang terkena wabah kolera dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.
Foto: Yahya Arhab/EPA
Seorang anak Yaman yang terkena wabah kolera dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fergie Nadira

Ahmad (9 tahun) menghabiskan sebagian besar waktunya sendirian, menendang-nendang benda di depannya dan mencoba meraih bola yang sudah kempes. Dekat dinding bata tua yang hanya beberapa meter dari ruang kelas, ia tidur di sana.

Selama enam bulan terakhir, rutinitas ini dilakukan Ahmad. "Ini membantu agar waktu berjalan lebih cepat," kata dia.

Enam bulan lalu, Ahmad menghabiskan sebagian besar istirahat makan siangnya dengan berkeliling bersama sahabatnya Hesham. Mereka bermain sepak bola di taman bermain sekolahnya di kota pelabuhan Hodeidah.

Namun, sejak pertempuran pada Juni lalu, Ahmad mendapati dirinya menjalani pengalaman sekolah yang berbeda. Dia pun melarikan diri ke Sanaa dengan orang tua dan adik perempuannya di situasi perang.

Keluarga kecil itu sekarang tidur di kasur tipis di lantai yang dingin di sekolah Muhammad Abdullah Saleh di ibu kota, Sanaa. Ada sedikit makanan di sana dan para pengungsi internal harus mandi menggunakan ember berisi air keruh.

Hodeidah, sebuah kota pelabuhan besar di Yaman, Pantai Laut Merah, telah menjadi medan pertempuran terbaru antara suku Houthi dan koalisi Saudi-Uni Emirat Arab (UEA). Lebih dari 445 ribu warga Yaman telah meninggalkan kota sejak musim panas lalu akibat perang yang terus berkecamuk dan krisis pangan yang meluas.

Orang tua Ahmad mengatakan, hidup anaknya telah berubah, tanpa mainan atau teman. Putranya kehilangan sebagian besar masa kecilnya setiap hari akibat perang empat tahun Yaman.

"Tidak ada internet, tidak ada komputer, tidak ada TV," kata Ahmad kepada Aljazirah. "Setiap hari sama. Sangat membosankan," ujar Ahmad menambahkan.

Ayahnya pun berusaha membuatnya berteman dengan beberapa pengungsi lain. Namun, ibunya mengatakan, suara bom yang jatuh dan kemiskinan yang menggerogoti mereka telah mengambil banyak korban pada kesejahteraan emosional anak-anak, termasuk anaknya.

Setiap hari dia berjuang untuk menciptakan kembali kehidupan yang pernah dimilikinya di Hodeidah. "Perilakunya telah banyak berubah," ujar ibu Ahmad. "Cara dia sekarang berteriak pada saudara perempuannya juga berbeda. Tidak ada anak seusianya yang berbicara dengan anggota keluarganya seperti itu," ujar ibu Ahmad.

Hanya beberapa meter dari kelas yang sekarang mereka sebut 'rumah', lembaran plastik digunakan oleh beberapa orang untuk buang hajat. Abdulla Hasn adalah salah seorang ayah lainnya yang berada di antara gelombang pertama masyarakat yang melarikan diri dari Hodeidah. Saat itu, pasukan pro pemerintah, yang didukung oleh koalisi Saudi-UEA, mulai bergerak maju ke kota.

Dia mengakui masa kecil anaknya telah hilang. "Situasi (di Hodeidah) membuat trauma anak-anak saya," kata dia.

Tinggal di ruang kelas kecil bersama 16 kerabatnya sekarang, Hasn mengatakan, anak-anaknya kerap menangis. Anak-anaknya juga memintanya membawa ke tempat yang aman dan nyaman. "Kemudian saya pindah bersama mereka ke Sanaa," ujar Hasn.

Pada saat itu, Hasn tidak dapat melarikan diri lagi sebab kekurangan uang. Dia hanya bisa pergi saat seorang pengusaha kaya meminjamkannya sejumlah dana. "Saya mendapat uang itu dan segera pergi ke Sanaa bersama istri saya, tujuh anak, saudara perempuan saya," kata Hasn.

Setelah enam jam yang melelahkan, mereka akhirnya mencapai ibu kota, sebuah kota yang terguncang selama lebih dari empat tahun serangan udara koalisi menghancurkan kota. Puing-puing dari rumah-rumah dan toko-toko yang dibom terhempas di jalan-jalan. Kemiskinan pada penduduknya meluas.

Banyak kamp yang sudah dibanjiri pengungsi Yaman. Menurut dia, sekolah adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk mencari perlindungan. Selimut dan piring kotor tergeletak di lantai dan lebih dari selusin orang berdesakan di setiap ruang kelas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement