REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdur Razaki, mengatakan, generasi muda saat ini merasa lebih nyaman belajar keagamaan melalui media online dan model pendidikan di luar kelas. Dalam hal keagamaan, mereka pun lebih mengidolakan atau mempercayai hal-hal yang disampaikan ustaz ketimbang guru agama.
‘’Sekarang ustaz yang menjadi favorit, bukan lagi dosen atau guru agama,’’ ujar Abdur Razaki dalam diseminasi hasil penelitian bertema "Menanam Benih di Ladang Tandus: Potret Sistem Produksi Guru Agama Islam di Indonesia’’, di Jakarta, Kamis (10/1).
Anak-anak muda sekarang, menurut dia, bisa dikatakan harus dipaksa untuk masuk ke ruang kelas. Namun, mereka antusias untuk menghadiri pengajian.
‘’Pemikiran ustaz sangat modern, tapi dosen meski punya statement bagus jarang diviralkan maka dosen atau guru harusnya lebih kreatif,” kata dia dalam forum yang diselenggarakan oleh UIN Sunan Kalijaga dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia melihat, tren Islamisme di Indonesia terus mengalami peningkatan. Bahkan, sebagian kampus di Indonesia mengakomodasi hal ini.
‘’Banyak kelompok Islam baru, seperti Nabawi atau Salafi yang diresmikan sebagai UKM (Unit Kegiatan Kampus) bahkan memperoleh pendanaan,’’ katanya.
Bagi anak muda, menurut dia, pembelajaran dari kelompok Islam baru itu menarik. ‘’Mereka (kelompok Islam baru) sangat menarik dalam pendekatannya, dimulai dari cara pengaderan, pendampingan harian hingga melalukan tabligh akbar secara sistematis,” ungkapnya.
Dalam forum yang sama, Direktur Utama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam, mengatakan, saat ini terjadi tren, yakni meningkatnya kehidupan beragama yang konservatif yang berpotensi membahayakan bangunan kebangsaan Indonesia.
“Hasilnya searah atau sama, bahwa memang betul perasaan atau kesimpulan kami dari pengamatan sekilas dengan penelitian serius, yakni masyarakat Indonesia mengalami masalah serius dalam hal keagamaan. Saat ini yang beredar adalah keagamaan yang cenderung eksklusif, konservatif sehingga cukup mengkhawatirkan,” kata dia.
Sementara, Direktur CIS Form UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Wildan, dalam paparannya antara lain menyoroti tentang beberapa kelemahan dalam sistem produksi guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Kelemahan-kelemahan itu, pertama terdapat 32,9 persen mahasiswa prodi PAI berasal dari SMA/SMK umum.
Kedua, sistem pendaftaan mahasiswa baru (PMB) memberikan peluang bagi calon mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan agama seperti SMA/SMK umum masuk jalur SPAN-PTKIN.
Ketiga, komposisi mata kuliah profesional (keislaman) dalam kurikulum prodi PAI hanya berkisar 30 persen, sedangkan aspek pedagogis lebih banyak, yakni sekitar 40-45 persen dan penunjang 30 persen.
Keempat, sebagian dosen PAI mempunyai kompetensi Bahasa Arab yang kurang memadai. Kelima, kegiatan belajar mengajar belum mengajarkan cara berpikir kritis.
(ed: wachidah handasah)