Jumat 11 Jan 2019 00:53 WIB

Solusi Selamatkan BPJS Kesehatan

Pemerintah diharapkan menutup kekurangan dana BPJS Kesehatan Rp 15,6 triliun

BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Benny Gunawan Ardiansyah, Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN Kementerian Keuangan

Amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (2) dengan jelas menyebutkan, “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu dengan martabat kemanusiaan.”

Sebagai aturan pelaksanaannya, dibentuk UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Berdasarkan UU itu, ruang lingkup jaminan sosial adalah “Salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.”

Setelah berlangsung selama tujuh tahun, baru dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai badan hukum yang menyelenggarakan program jaminan sosial, yaiu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Kesehatan merupakan alat mencapai Universal Health Coverage (UHC) yang dicanangkan WHO. UHC memiliki tujuan agar seluruh masyarakat memiliki akses layanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa menimbulkan kesulitan keuangan.

Secara umum, pencapaian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk menuju UHC relatif baik dengan beberapa indikator. Pertama, jumlah peserta bertambah, yang berarti semakin banyak penduduk mendapatkan jaminan kesehatan.

Peserta JKN per 1 Januari 2019 mencapai 215,78 juta jiwa atau sekitar 81 persen dari total penduduk Indonesia. Kedua, akses terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan mengalami peningkatan. Bahkan, JKN telah menjamin seluruh jenis penyakit yang secara medis dibutuhkan.

Ketiga, untuk mendapatkan jaminan, besaran iuran relatif sangat murah. Untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (orang miskin dan tidak mampu, iuran dibayar penuh pemerintah dan mencapai 45 persen dari seluruh peserta), iuran untuk kelas 3 adalah Rp25.500.

Besaran iuran yang belum sesuai perhitungan aktuaria (hanya sekitar 47 persennya) dianggap merupakan kesalahan penetapan pemerintah. Beberapa pihak menyebutkan, hal tersebut merupakan penyebab utama defisit BPJS Kesehatan.

Sejak pertama kali diimplementasikan, defisit BPJS mencapai Rp 16,5 triliun. Namun, jika solusinya hanya menaikkan iuran BPJS, tidak akan serta-merta menghapus defisit yang ternyata lebih bersifat struktural.

Membedah defisit struktural

Untuk mempertahankan keberlanjutannya, diberikan suntikan dana, baik dari BPJS maupun pemerintah. Sampai akhir 2017, disuntikkan kontribusi dana Rp 1,071 triliun, hibah Rp 8,503 triliun, sumbangan pemerintah Rp 3,600 triliun, dan dana talangan BPJS Rp 3,082 triliun.

Namun, posisi aset neto Dana Jaminan Sosial Kesehatan pada akhir 2017 tetap negatif Rp 23,052 triliun dengan kondisi rasio solvabilitas hanya 4,96 persen, dan likuiditas 4,91 persen.

Dalam hal laporan keuangan, BPJS melanggar prinsip kehati-hatian, termasuk pelanggaran Pasal 50 UU SJSN yang berbunyi “Badan penyelenggara jaminan sosial wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum”.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 Pasal 37, yaitu cadangan teknis setidaknya 15 hari klaim, rata-rata klaim selama 180 hari. Atau DJS harus dipertahankan paling sedikit pada rasio klaim 90 persen, sementara jumlah klaim pada 2016 mencapai 110,80 persen dan 2017 menjadi 131,43 persen.

Jika dicari penyebab defisit struktural, terdapat beberapa dampak akumulatif. Pertama, kurangnya dana akibat kebijakan populis pemerintah dan kurang hati-hati. Tarif pelayanan kesehatan bermasalah yang disusun tanpa berlandaskan standar pelayanan.

Berbagai obat dan alat kesehatan berbiaya tinggi dibayar free for service dan inefisiensi alokatif akibat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dibayar sangat rendah dan kapitasi di puskesmas tidak efektif meningkatkan mutu.

Kedua, tata kelola menyimpang dan sarat konflik kepentingan. Pengawasan terhadap BPJS dan penyelenggaraan JKN terbatas pada monitoring dan evaluasi. Belum terdapat fungsi auditor dan penyidik pelanggaran jaminan sosial.

Dalam kegiatan operasionalnya, BPJS Kesehatan belum berperan sebagai pembeli aktif. Pada level kementerian, terdapat berbagai pendelegasian dari peraturan pelaksanaan UU JSN yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan timbulnya birokratisasi JKN.

Pengawasan JKN dilakukan banyak institusi, tetapi bersifat fragmentatif dan tidak efektif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement