Kamis 10 Jan 2019 16:43 WIB

Kasus ‘Kanjeng Sultan' Momentum Percepat Pengesahan RUU PKS

RUU PKS dibutuhkan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan hak-haknya.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Agus Yulianto
Warga memberikan tanda tangan dukungan Keluarga Indonesia Menolak Narkoba, Pornografi, dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (4/9).  (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga memberikan tanda tangan dukungan Keluarga Indonesia Menolak Narkoba, Pornografi, dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (4/9). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah mengapresiasi gerak cepat aparat kepolisian dalam menangani dugaan kekerasan seksual dan ajaran menyimpang. Terutama yang dilakukan oleh ‘Kanjeng Sultan’ alias Kyai Syawal, di Desa Tepakyang, Kecamatan Adimulyo, Kabupaten Kebumen.

Baru-baru ini, aparat Polres Kebumen telah melakukan penangkapan terhadap HSN (35 tahun), pria yang selama ini dikenal sebagai ‘Kanjeng Sultan’ yang juga pengelola pondok di Desa Tepakyang, menyusul adanya laporan dugaan pencabulan terhadap gadis di bawah umur yang berkedok ajaran sesat.

“Terkait dengan masalah penyimpangan ajaran agamanya, LBH Ansor Jawa Tengah berharap agar aparat kepolisian segera berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Kebumen,” ungkap Direktur LBH Gerakan Pemuda Ansor, Denny Septiviant, di Semarang, Kamis (10/1).

Dia juga menyampaikan, Pemprov Jawa Tengah--melalui Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)--untuk melakukan pendampingan bagi korban terutama pemulihan trauma psikologis. “Termasuk agar masyarakat dan media tidak menyebarkan identitas dan ciri- ciri para korban dan keluarganya agar proses traumatik korban tidak semakin berat,” ujarnya.

Munculnya kasus ini, kata dia, diharapkan bisa menjadi momentum bagi semua pihak guna mendorong kembali disahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Pemerintah dan DPR RI.

Karena, penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan menyatakan keprihatinan kepada korban. Melainkan harus ada langkah- langkah konkret dan segera untuk memberikan perlindungan hukum bagi para korban.

Denny melihat, salah satu penyebab lambatnya pengesahan RUU PKS tersebut adalah isu kekerasan seksual yang lebih banyak dilihat dari kerangka agama dan moralitas. Ada kekhawatiran- kekhawatiran dari yang kemudian dimunculkan, padahal tidak termuat di dalam RUU PKS tersebut.

Dia pun menilai, kekhawatiran anggota DPR yang dibangun sendiri digunakan untuk tidak segera membahas RUU PKS ini. “Misalnya, RUU ini dianggap akan merusak perkawinan, bahkan mengatur sampai di ranah kekerasan dalam perkawinan,” tegasnya.

Padahal, RUU PKS tidak mengatur hal itu karena sudah ada dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Artinya, RUU PKS hanya mengatur hal-hal yang belum ada di dalam undang-undang lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement