REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil menegaskan, tidak terlalu khawatir dengan hasil survei LSI Denny JA terbaru yang menyebut PKS tidak lolos ambang batas parlemen karena hanya memperoleh 3,3 persen dari hasil survei. Menurut Nasir, lembaga survei juga tidak sepenuhnya bekerja murni.
"Karena itu bagi PKS melihat dari berbagai hasil survei tidak perlu menjadi kekhawatiran yang berlebihan. Berkaca pada 2014, hampir setiap survei dari berbagai lembaga survei selalu menepatkan PKS rendah. Namun kenyataannya PKS masih bertahan dan tidak sesuai dengan hasil survei yang dirilis sebelumnya," kata Nasir, Rabu (9/1).
Nasir menyadari kondisi politik jelang Pemilu 2019 saat ini memang ada yang berbeda terutama bagi PKS. Tetapi persoalannya di lapangan, suasana politiknya ternyata berbeda dengan 2014.
Disadarinya, PKS saat ini menghadapi persoalan internal. Di antaranya dengan adanya konflik beberapa kader seperti Fahri Hamzah dengan beberapa pengurus di DPP PKS. Termasuk dengan beberapa orang PKS yang mendirikan GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia) dan bergabung dengan GARBI.
"Saya pun tidak bisa mengatakan mereka yang di GARBI akan memindahkan pilihan politiknya ke partai lain. Jadi bisa saja di antara mereka masih tetap komitmen bersama caleg PKS," ujarnya.
Akan tetapi, menurut Nasir, ada pertimbangan lain yang tetap mampu membuat PKS lolos ambang batas parlemen 4 persen di Pemilu 2019 ini. Pertama ia menyebut, ada situasi politik berbeda. Saat ini ada kecenderungan politik umat Islam, di dua tahun belakangan tumbuh berkembang. Ini memberikan dampak terhadap partai partai yang selama ini dianggap berbasis massa Islam, termasuk PKS dan bisa juga PAN.
"Angin ini membeti kesegaran baru bagi PKS," kata Nasir.
Kedua, saat ini di PKS banyak caleg eksternal non kader yang ternyata tidak kalah besar kontribusi dan loyalitasnya terhadap PKS. Sebagaimana diketahui selama ini PKS termasuk yang sangat sedikit mengakomodir caleg non kader.
Dan ternyata, mereka para caleg non kader ini lebih dekat dengan masyarakat dan menjadi panutan di masyarakat. "Di dapil saya cukup banyak caleg eksternal, bahkan porsinya sudah mencapai lebih dari 50 persen," katanya menambahkan.
Ketiga, PKS kini berkoalisi dengan Gerindra yang kini sebagai partai pengusung capres Prabowo Subianto. Nasir yakin koalisi ini akan memberikan efek ekor jas (coat tail effect) terhadap konstituen PKS di daerah, yang selama ini beroposisi dengan pemerintah.
Tiga hal ini menurutnya masih sangat optimis PKS akan tetap lolos ambang batas parlemen. Karena selama ini pun, fenomena di lapangan, khususnya PKS, sangat berbeda dengan hasil survei.
"Jadi kami tidak terlalu gusar dengan hasil survei LSI Denny JA itu atau hasil survei manapun yang selalu menyebut PKS tidak lolos ambang batas parlemen," terangnya.
Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, masalah internal partai dapat mempengaruhi hasil pemilu legislatif. Ada beberapa faktor menurutnya, salah satunya faktor dari pemilih sendiri.
“Tentu (berpengaruh) salah satunya pemilih sendiri, faktor yang dilihat oleh pemilih konsisten,” ujarnya dalam sambungan telepon kepada Republika, Rabu (9/1).
Ardian menjelaskan, konsisten dalam artian apa yang sedang diperjuangkan oleh partai tersebut. Kemudian siapa tokoh pilihan partai.
“Jangan sampai tokoh pilihan yang dia pilih apalagi ini Pilpres berbeda dengan suara greenshoot di masyarakat karena itu akan menimbulkan ketidak percayaan pemilih kepada partai tersebut,” jelas dia.
Karena sambungnya, masalah di internal yang tidak satu suara ini yang sering kali berbahaya. Apalagi jika tidak satu suara ini ada pada pemimpin-pimpinan partai.
“Tapi kalau (pimpinan) satu suara kemudian dianggap pemilih konsisten ya tinggal didongkrak dengan hal lain, jadi selesaikan dulu masalah internal baru bisa berkibar,” ucapnya.
Jangan sampai sambung Ardian, masalah internal partai ini berlarut-larut. Sehingga akan sulit untuk mencapai dukungan masyarakat karena justru sibuk dengan masalah internal partai sendiri.
“Secara umum pun ketika ada maslah internal ini akan susah untuk mendapatkan dukungan. Sama seperti Hanura dulu dan efeknya sampai sekarang,” kata dia.