REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Debat pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang mengangkat tema penegakam hukum dan HAM, pemberantasan korupsi dan terorisme pada 17 Januari 2018 diharapkan disertai dengan komitmen pasangan calon. Harapan itu diungkapkan oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
"Sebetulnya kami curiga debat ini tidak punya korelasi yang serius dengan ketika orang ini menjabat karena apa yang kita lihat dari masa ke masa," kata Asfinawati di Jakarta, Selasa (8/1).
Apabila dokumen visi misi sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden saja mungkin tidak dijalankan, ujar dia, apalagi perkataan dalam debat. Dalam bidang hukum, Asfinawati mempertanyakan beranikah nantinya para capres mencabut hukum yang meminggirkan kelompok minoritas keagamaan seperti Pasal 165a UU PN/PS No.1 tahun 1965.
Selanjutnya menurut dia diperlukan perubahan hukum acara pidana di Indonesia, sehingga tidak memakan korban karena orang yang dijadikan tersangka pasti akan masuk penjara. Hak atas pembangunan pun menjadi tugas yang harus dijalankan, yakni saat melakukan pembangunan tidak mengabdi pada pemilik modal atau keuntungan yang didapatkan negara, tetapi keuntungan yang didapatkan rakyat.
Hal tersebut, kata dia, karena seringkali pendapatan negara tidak berkorelasi dengan pendapatan rakyat, misalnya, pendirian pabrik semen yang merebut sawah rakyat, padahal rakyat sudah sejahtera. "Apakah mereka berani mengajukan perubahan itu?" kata Asfinawati.
Selain itu, ia menekankan yang paling penting adalah komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi, contohnya ketika terdapat serangan pada KPK, presiden harus berani mengambil tindakan. Adapun, debat capres-cawapres yang akan diselenggarakan pada Kamis (17 Januari 2019), di Hotel Bidakara, Jakarta dengan mengangkat tema, hukum, HAM, korupsi, dan terorisme merupakan debat yang pertama.