REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Menghadapi kritikan dan kecaman soal dugaan pelanggaran HAM, Republik Rakyat Cina (RRC) membuka akses bagi sejumlah pihak untuk mengintip kondisi di kamp reedukasi di Xinjiang. Dalam kunjungan yang mendapat kawalan pejabat setempat itu, meski belum sepenuhnya, gambaran soal yang terjadi di Xinjiang mulai tampak.
Akhir pekan lalu, RRC (Tiongkok) mengundang sejumlah wartawan asing ke Xinjiang. M Irfan Ilmie, wartawan Antara, salah satu yang mengikuti kunjungan ke dalam kamp yang sempat dilaporkan PBB menjadi lokasi penyiksaan dan indoktrinasi itu.
“Melihat dari usia mereka yang rata-rata 20 tahun hingga 30 tahun tidak seharusnya duduk di ruang kelas untuk melafalkan kata demi kata layaknya murid sekolah dasar,” tulisnya merujuk para penghuni kamp, seperti dilansir Antara pada Senin (7/1).
Salah satu kamp yang dikunjungi berjarak sekitar 1.500 kilometer di sebelah selatan Ibu Kota Xinjiang di Urumqi dan dibangun di atas lahan seluas 16 hektare pada pertengahan 2017. Daya tampungnya sebanyak 3.000 orang.
Kepala kamp, Mijiti Meimeiti, menyebutkan, saat ini jumlah “anak didiknya” sebanyak 2.000 orang etnis Uighur yang tinggal di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan. Mayoritas mereka, kata Mijiti, berisiko terpapar paham radikal dan ekstremis sehingga ada yang memang darurat untuk dikirim ke kamp.
Di dalam kamp, yang diperlihatkan kepada para wartawan serupa balai latihan kerja dengan fasilitas apik dan memadai. Namun, dari luar, bangunan tampak dikelilingi pagar berlapis dan beberapa bagian dipasangi kawat berduri lengkap dengan kamera pemantau di mana-mana. Lokasinya sepi dan jauh dari permukiman sehingga, menurut Irfan, mirip sebuah kamp ketimbang lembaga pendidikan.
Akhir pekan itu, tampak sebagian penghuni meninggalkan kamp menggunakan bus dengan teralis baja melapisi kaca jendela dan membatasi ruang kemudi. Salah satu bus tersebut mengantarkan para penghuni kamp ke perdesaan yang berbatasan dengan Pakistan dan India.
Reuters yang juga diundang menuturkan, dalam salah satu kelas para murid diberi tahu bahwa larangan bernyanyi, menari, dan menangis saat pemakaman merupakan tanda-tanda pikiran ekstremis. Para murid tampak tekun mencatat keterangan itu, tak ada yang tampak mengalami penganiayaan.
Di kelas lain, para penghuni membaca soal betapa luasnya Tanah Air mereka. Di lain kesempatan, para murid menyanyikan lagu anak-anak “Jika Kau Senang Hati Tepuk Tangan” di hadapan para wartawan.
Para penghuni menjawab seragam bahwa mereka mengikuti pendidikan karena “terinfeksi pikiran-pikiran ekstrem”. “Saat itu saya terinfeksi pikiran ekstremis sehingga menggunakan cadar,” kata salah satu penghuni, Pazalaibutuyi (26 tahun), di bawah pengawasan pejabat kamp dan pejabat partai Komunis Cina yang ikut dalam kunjungan.
Pazalaibutuyi menuturkan, peristiwa lima tahun lalu saat itu ia menghadiri pengajian di rumah tetangga. Tak lama selepas bercadar, ia disambangi pejabat setempat dan mengklaim secara sukarela ikut ke kamp pendidikan.