Selasa 08 Jan 2019 07:14 WIB

Berbagi tak Selalu Berarti Peduli

Maksud hati berbagi, ujungnya malah masuk bui.

Hoax. Ilustrasi
Foto: Indianatimes
Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*

Sharing is caring atau berbagi itu peduli. Kalimat sederhana yang memiliki makna mendalam. Ketika Anda berbagi maka Anda sedang menunjukan kepedulian kepada orang lain.

Ini (mungkin) merupakan nilai yang sudah disematkan pada Anda sejak kecil. Dalam hal, berbagi bukan hanya benda-benda material, tetapi juga ide, pikiran, dan pengalaman.

Orang tua biasanya meminta anak-anaknya berbagi makanan atau mainan dengan temannya. Tidak berebut menonton televisi atau game console dengan adik/kakak. Atau bahkan, berbuat baik dan selalu ramah kepada orang lain, termasuk mereka yang tidak dikenal.

Ketika dewasa, banyak orang berusaha mempertahankan budaya berbagi. Anak muda memberikan tempat duduknya kepada orang yang lebih tua. Disadari atau tidak, ini menunjukan kepedulian.

Begitu pula ketika Anda mengetahui ada teman yang sakit dan langsung tergerak untuk memberikan donasi. Anda ingin menunjukan kepedulian Anda dengan berbagi. Sharing is caring.

Banyak orang yang merasa bahagia karena bisa berbagi.

Pada era media sosial seperti sekarang ini, budaya berbagi menempati levelnya tersendiri. Media sosial adalah soal berbagi.

Orang membagikan informasi mengenai makanan yang dimakan saat makan siang, lokasi liburan, hingga pikiran, ide, kesedihan, dan kritikan. Facebook, Twitter, dan Instagram menjadi ruang yang memungkinkan orang berbagi lebih banyak kepada orang lain.

Media sosial merupakan platform yang memungkinkan kita menjangkau dan terlibat dengan publik. Media sosial tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi setiap hari, tetapi memungkinkan kita menciptakan konten viral tanpa tergantung pada media massa arus utama.

Budaya berbagi di media sosial tidak bisa dilepaskan dari budaya partisipasi yang ada pada medium tersebut. Pengguna media sosial ingin terlibat atau enggage dengan konten-konten yang dibagikan media sosial.

Karena itu, meski awalnya media sosial memang hanya soal berbagi informasi, yakni agar orang lain tahu. Akan tetapi, kemudian, agar orang lain tahu menjadi tidak cukup.

Berbagi informasi pun berubah menjadi agar orang lain tergerak. Artinya, media sosial memungkinkan penggunanya untuk memengaruhi orang lain.

Ini kemudian menjadi sarana yang bermanfaat ketika Anda ingin menggalang kampanye sosial seperti pengumpulan dana. Misalnya, fan grup-grup idola asal Korea Selatan kerap melakukan proyek penggalangan dana ketika member grup kesayangannya berulang tahun.

Beberapa akun dengan follower ratusan ribu di Instagram kerap membuka penggalangan dana ketika ada bencana. Di Twitter, orang-orang kadang membagikan (dengan menyelipkan harapan bisa menggerakan banyak orang) lewat ‘mantra’: Twitter, do your magic.

Sayangnya, media sosial juga seperti media massa arus utama yang memiliki dua mata pisau. Jika satu pisau bermanfaat menggerakan masyarakat untuk memiliki kepedulian sehingga tergerak melakukan sesuatu maka sisi lainnya sebaliknya.

Ada sisi di mana media sosial menjadi sarana yang berbahaya ketika orang berbagi. Yakni, berbagi kabar palsu atau hoaks. Dalam hal ini, keinginan berbagi kerap bercampur dengan egoisme sehingga memungkinkan orang yang membagikan pesan tidak terverifikasi menjadi tersinggung.

Misalnya, pada suatu waktu, seseorang membagikan sebuah pesan ke grup. Anggota lain dalam grup itu menegur dan menyatakan bahwa itu hoaks. Orang yang membagikan lantas menjawab bahwa dia hanya berbagi dan mungkin saja ada di grup tersebut yang tahu.

Namun, anggota yang memprotes tidak sepakat dengan alasan tersebut. Informasi yang belum diverifikasi tidak sebaiknya dibagikan karena akan membuat hoaks menjadi viral.

Ada banyak cara untuk memastikan sebuah informasi valid atau tidak valid. “Googling aja dulu foto serupa pernah muncul atau enggak di Google sebelum disebar,” sahut sebuah suara di grup tersebut.

Beberapa orang mengamini bahwa informasi yang belum terverifikasi tidak sebaiknya disebarluaskan. Jangan sampai maksud hati ingin membagikan informasi karena peduli justru masuk bui.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement