REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kualitas udara di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan pada Senin (7/1). Data konsentrasi partikulat PM2.5 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron mencapai 61 µg/m³.
“PM 2.5 pukul 12 siang terbaca 61 µg/m³. AQI atau Air Quality Index-nya, tidak sehat. Kecepatan angin adalah 7.6 km/jam. Artinya, angin juga tidak terlalu kencang,” jelas Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu kepada //Republika//, Senin (7/1). Ia mendasarkan data situs airvisual yang juga meliputi data kualitas udara di seluruh wilayah di dunia.
Dia menjelaskan, dibandingkan standar yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO rata-rata 24 jam, konsentrasi partikulat PM2.5 di Jakarta telah melebihi standar WHO. Standar WHO rata-rata 24 jam adalah sebesar 25 µg/m³.
Standar WHO sendiri untuk mengukur kualitas udara, kata dia, terdapat dua standar. Standar itu adalah PM2.5 dan indeks kualitas udara. Indeks kualitas udara sendiri akan memberikan hasil sehat atau tidak sehatnya udara di sebuah wilayah.
Adanya kualitas udara yang buruk itu, kata dia, membuat beberapa wilayah di DKI Jakarta pada Senin pagi hingga siang seperti berkabut. Langit biru pun terlihat berwarna abu-abu dan lebih gelap.
Bondan menuturkan, kemungkinan penyebab dari buruknya kualitas udara di DKI Jakarta pada Senin pagi sampai siang adalah kembali normalnya aktivitas kota khususnya transportasi di wilayah DKI Jakarta. Namun, dia menekankan, transportasi tak mesti menjadi satu faktor buruknya sebuah kualitas udara di sebuah wilayah.
Dia mencontohkan, pada satu pekan yang lalu saat momentum liburan, meskipun beberapa titik di DKI Jakarta seperti di tempat-tempat wisata mengalami kemacetan. Namun, langit Jakarta masih berwarna biru.
“Berarti pada saat itu, artinya untuk menjadikan langit itu biru, perlu ada banyak faktor. Pertama mungkin sumbernya tidak hanya transportasi, bisa jadi lainnya,” jelas dia.
Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kualitas udara memburuk, antara lain kecepatan angin. Pada Senin pagi, kecepatan angin dinilai kecil sehingga tak mampu membawa polutan berpindah atau terserap.
Menurutnya, pada Desember kemarin, tercatat data mengenai kecepatan angin sekitar 16 hingga 20 km/jam. Sehingga, polutan itu bisa jadi bergeser tersapu atau terserap sehingga kualitas udaranya masih terjaga.
“Jadi, pada saat angin enggak tinggi, kemudian aktivitas mulai tambah, kemudian sumber yang lainnya bakar sampah, terus kita juga masih ada PLTU batu bara. Semuanya ngumpul akhirnya. Dan terjadilah seperti sekarang ini,” ujar dia.
Kualitas udara di Jakarta pun perlahan pada Senin siang mengalami perbaikan. Tercatat PM2.5 menurun menjadi 45 µg/m³ pada pukul 13.20 siang, dengan kecepatan angin sebesar 14.8 km/jam.
Bondan pun mengingatkan kepada masyarakat mengenai partikel 2.5 yang tak terlihat, tak tercium, dan tak berbau. Menurutnya, PM2.5 akan memburuk ketika jarak pandang berkurang.
“Karena 2.5 itu bentuknya debu kecil ya jadi ketika konsentrasi di satu tempat dia akan semacam fogging mengambang, mengendap di bawahnnya,” jelas dia.
Perihal proteksi diri, masyarakat bisa menggunakan masker dengan jenis N95 yang dapat menyaring udara partikel berukuran 2.5 mikron. Namun, dia menekankan, penggunaan masker ini perlu berhati-hati dan bersifat sementara karena masker ini dapat menyebabkan sesak napas.
Penanganan kualitas udara yang buruk sendiri, kata dia, harus dikembalikan kepada sumber polutan itu sendiri. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor atau kendaraan pribadi dan berpindah ke transportasi umum. Serta dengan tidak melakukan lagi pembakaran sampah.
“Dari ujung ke ujung pakai Transjakarta udah enak banget. Sekarang KRL juga. Kalau tidak nyaman karena berdesakan dan lain-lain, ya dibuat nyaman saja transportasi umum agar masyarakat juga berpindah,” jelas dia.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Isnawa Adji membenarkan kualitas udara di wilayah DKI Jakarta pada Senin memburuk. Hal itu disebabkan adanya aktivitas warga, termasuk anak-anak bersekolah telah kembali normal.
“Jadi memang, faktor kemacetan itu pasti. Hari ini juga sudah mulai normal kan aktivitas warga karena selesai libur tahun baru,” jelas Isnawa kepada Republika, Senin (7/1).
Selain itu, kata dia, di wilayah DKI Jakarta sendiri tengah ada pembangunan infrastruktur seperti pembangunan kereta Lintas Rel Terpadu (LRT) dan kereta Moda Raya Terpadu (MRT). Lalu, juga masih banyak program-program pembangunan jalan, perapihan kabel dan jaringan optik, penggalian pekerjaan PLN, dan telkom.
Dia menyebut, pembangunan-pembangunan itu juga menjadi faktor penyebab titik-titik kemacetan semakin banyak. Sebab, volume kendaraannya sendiri juga tinggi. Isnawa juga menyoroti adanya perbedaan kondisi pada saat libur tahun baru lalu. Oleh karena situasi liburan, kemungkinan aktivitas-aktivitas industri berkurang.
Lalu, momentum liburan membuat ada sekitar ratusan ribu kendaraan yang keluar dari jakarta untuk berlibur di daerah. Ditambah, tidak ada aktivitas sekolah.
“Jadi, pergerakan kendaraan itu tidak tinggi. Libur kemarin juga sepertinya banyak hujan, yang membawa gejala, debu-debu terkondensasi, atau terserap. Jadi, otomatis dinetralisir oleh hujan,” jelas Isnawa.