REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta kepolisian membongkar struktur organisasi penyebaran hoaks tujuh kontainer berisi surat suara yang salah tercoblos. KPU tidak ingin hanya orang-orang kecil yang ditindak oleh kepolisian atas penyebaran hoaks ini.
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan pihaknya masih menunggu proses hukum di kepolisian. KPU meminta kepolisian tidak hanya menelusuri dua orang yang telah menjadi tersangka penyebaran hoaks.
"Tetapi juga dari mana perintahnya, siapa yang menyuruh, kemudian mungkin di belakangnya ada struktur organisasi yang lebih mapan dan bukan sesuatu yang sporadis," tegas Pramono ketika dijumpai wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/1).
Karena itu, KPU ingin mendalami persoalan hoaks terkait logistik ini secara lebih lengkap. KPU tidak ingin ada pihak-pihak yang mengorbankan sejumlah pihak tertentu. "Kami tidak ingin yang dikorbankan dalam proses ini adalah orang-orang kecil yang mungkin karena ketidaktahuan (kemudian menjadi tersangka). Kami ingin membongkar ini dengan lebih luas lagi," ujar Pramono.
Terpisah, anggota Bawaslu, Mochamad Afifuddin, mendukung sikap KPU. Menurut Afif, berita bohong terkait pemilu harus ditelusuri hingga ke akarnya. Bawaslu juga mendukung kepolisian untuk menindak aktor intelektual hoaks soal surat suara.
"Memang yang perlu dilakukan adalah memerangi berita bohong itu dengan mencari tahu ke akarnya. Semua pihak harus menjalani komitmen untuk memberantas hoaks secara bersama. Siapa nanti aktor intelektualnya, harus bisa ditindak," tegas Afif.
Sebelumnya, polisi kembali menangkap seorang penyebar hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos. Seorang terduga pelaku berinisial J ditangkap Polres Brebes.
Dia memiliki peran menerima konten tanpa harus mengklarifikasi langsung memviralkan baik melalui akun FB maupun WA grup," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin.
Peran J, kata Dedi, sama seperti dua tersangka sebelumnya, yakni HY di Bogor dan LS di Balikpapan, J pun ditetapkan tersangka tanpa dilakukan penahanan. Sebab, Ia ditetapkan tersangka dengan Pasal 14 ayat 1, Pasal 15 UU nomor I tahun 1946, dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun.