REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, sulit menjerat Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief dengan Undang-Undang ITE, terkait cuitannya soal tujuh kontainer surat suara yang telah tercoblos. Namun, menurutnya Andi Arief bisa dijerat dengan Undang-Undang Pemilu.
"Tweet yang disebar Andi Arief ini adalah permohonan konfirmasi dan perhatian untuk mencek kebenaran sebuah isu," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/1).
Fickar menjelaskan, hoaks terbagi dalam beberapa model. Pertama, hoaks yang merugikan konsumen, kedua hoaks yang disebarkan berdasarkan SARA untuk memicu kekacauan dalam masyarakat dan keduanya telah diatur dalam UU ITE.
Ketiga, lanjut Fickar penyebaran berita yang diketahui bohong dan menimbulkan kekacauan. Kemudian keempat, penyebaran berita tidak lengkap alias sepotong- sepotong yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 14, 15 UU No.1 Tahun 1946. Serta hoaks yang kelima, masih menurut Fickar adalah hoaks untuk kepentingan dan kerugian perorangan atau yang sering disebut penipuan seperti diatur dalam Pasal 311 dan 378 KUHP.
Sehingga seperti yang dia sebutkan sebelumnya, bahwa cuitan yang ditulis dan disebar Andi Arief adalah permohonan konfirmasi dan perhatian untuk mengecek kebenaran sebuah isu. Sehingga sulit ungkapnya, untuk menjerat Andi Arief dalam unsur-unsur pidana tersebut.
"Tidak menenuhi unsur ketentuan-ketetuan itu, sehingga sulit untuk dijerat berdasarkan ketentuan di atas," ujarnya.
Lain halnya sambung Andi, dengan pelaku utama si pembuat berita pertama. Dialah menurutnya yang seharusnya dapat dijerat dengan hukuman pidana. Sedangkan terhadap Andi Arief, tambahnya tetap tidak bisa tindakannya dibenarkan begitu saja. Terap terbuka kemungkinan apabila menjerat Andi Arief dengan UU pemilu
"Terhadap Andi Arief terbuka kemungkinan dapat dijerat dengan UU pemilu yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mengganggu tahapan pemilu," katanya.