REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Farah Noersativa, Inas Widyanuratikah, Gumanti Awaliyah
Dalam beberapa tahun belakangan, istilah "sunset-nya media cetak" telah berulang kali didengungkan. Namun, pakar pemasaran Kafi Kurnia justru mengatakan media koran tidak bisa mati.
Hal ini ia sampaikan, berdasarkan fakta yang ada di beberapa media koran besar di dunia seperti Washington Post dan New York Times. "Koran itu tidak bakalan mati. Cuma, dia itu berubah," kata Kafi pada Republika, Jumat (28/12).
Ia mengatakan, agar tidak mati, tentu harus ada hal yang menjadi fokus, misalnya cara koran memberitakan sesuatu. Menurut Kafi, koran akan tetap bertahan apabila melakukan pemberitaan secara mendalam.
Namun, ia menilai, saat ini terdapat permasalahan yang kerap ditemui dalam mendidik wartawan. Mereka cenderung dididik agar menjadi pewarta, tapi tidak mengupas suatu isu secara mendalam. Hasilnya, berita yang ada sekadar memberikan suatu berita tanpa melaporkan sesuatu secara mendalam.
Pemberitaan secara mendalam ini tidak banyak ditemukan di media-media daring. Melihat media koran luar negeri yang sudah tua, tapi tetap bertahan, Kafi menilai, kebertahanan tersebut terjadi karena mereka tidak sekadar memberitakan, melainkan memberi sebuah laporan hasil investigasi.
Ia mencontohkan yang dilakukan oleh New York Times mengenai pemberitaannya soal ayah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Koran tersebut memberitakan tentang bagaimana ayah Trump mengatur agar anaknya tidak ikut wajib militer. Berita semacam ini eksklusif yang digali khusus oleh para pewarta dari New York Times.
Membangun media koran di tengah maraknya media daring dan perubahan kebiasaan masyarakat membaca melalui telepon pintar, juga harus disikapi secara cerdas. Berita yang ada di koran tidak boleh sekadar memberitakan apa yang sudah tersaji lebih dulu di media daring.
Tak hanya mendalam, koran juga harus mengkritisi sesuatu. Misalnya, dalam memberitakan tsunami Selat Sunda lalu. Koran, menurut Kafi, tidak akan berkembang apabila hanya memberikan informasi mengenai jumlah korban atau kerusakan yang terjadi. Seharusnya koran dapat menggali berita lebih dalam terkait mengapa banyak pendeteksi dini tsunami berupa buoy yang tidak ada. "Makanya angle berita itu menjadi sangat penting sekali," kata dia.
Pertahankan kredibilitas
Tepat hari ini, Harian Republika genap berusia 26 tahun. Terbit perdana pada 4 Januari 1993, Harian Republika memiliki komitmen untuk terus ber kiprah memperjuangkan suara umat. Kini, dengan meluasnya arus digital, tantangan Republika tentulah makin berat. Sebab, selain bersaing dengan media daring, Republika juga harus bersaing dengan media sosial yang begitu dekat dengan generasi milenial.
Guru besar Ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia Prof Ibnu Hamad menyampaikan, untuk tetap bisa eksis Harian Republika harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme media cetak yang menyajikan berita secara mendalam dan kredibel. "Harian Republika harus terus mempertahankan kredibilitas melalui akurasi berita-beritanya," ungkap Hamad saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Selain itu, Hamad juga mendorong Republika agar selalu melakukan berbagai inovasi. Mulai dari konten, isi berita, cara penyampaian berita, termasuk juga inovasi dari segi pembaca yang bisa merangkul semua generasi. "Dalam hal keragaman, saya melihat Republika sudah sangat bagus. Sudah sangat beragam isinya. Termasuk dalam aspek warna-warni kehidupan Islam," ujarnya.
Untuk kualitas isi, Hamad meng amati, selama ini berita-berita yang disajikan selalu ber hasil menyajikan informasi po kok atas peristiwa yang sedang diberitakan. Dalam hal inovasi pembaca, Harian Republika bisa dikatakan sebagai koran dengan warna Islam satu-satunya.
"Jadi, jika Republika terus mempertahankan prinsip jur nalisme yang bersifat universal dan mengacu pada sembilan elemen jurnalisme, pembaca dari semua kalangan bisa di sasar menjadi pembaca Republika," kata dia. ed: setyanvidita livikacansera