REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar mengungkapkan bahwa hingga 2 Januari 2019, masih terjadi letusan Gunung Anak Krakatau.
Di samping itu, masih terekam kegempaan di stasiun seismik di Pulau Sertung berupa gempa-gempa letusan, hembusan, dan tremor menerus dengan amplitudo maksimum dominan 7 mm.
"Tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih Siaga (level III) dan letusan masih terjadi, sehingga masih terdapat ancaman berupa lontaran material letusan. Sehingga direkomendasikan untuk tidak mendekat dalam radius 5 kilometer dari kawah, yaitu di dalam area yang dibatasi oleh Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang. Status Siaga ini hanya berlaku untuk aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau," ujarnya di Jakarta, Rabu (2/1).
Rudi juga menjelaskan bahwa tidak ada potensi terjadinya tsunami dari aktivitas vulkanik tersebut.
"Berdasarkan analisis data yang dimiliki, Badan Geologi menyimpulkan bahwa tidak ada potensi terjadinya tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau," kata Rudy.
Sebagaimana diketahui, pada 26 Desember 2018 terjadi letusan yang menyebabkan longsoran besar dan menghancurkan seluruh puncak Gunung Anak Krakatau, sehingga tingginya yang semula 338 meter berkurang hingga hanya lebih kurang 110 meter di atas permukaan laut.
Ia mengatakan runtuhnya seluruh puncak dan sebagian besar tubuh tersebut tidak menimbulkan tsunami.
"Adapun yang disinyalir sebagai adanya retakan di lereng Gunung Anak Krakatau, hal itu merupakan sisa-sisa dari proses runtuhan yang disebabkan letusan pada 26 Desember 2018, dan itu adalah hal yang wajar di dalam letusan gunungapi. Tidak perlu dikhawatirkan," ujar Rudy.