Selasa 01 Jan 2019 21:57 WIB

Makanan Sisa tak Lagi Terbuang Berkat Garda Pangan

Garda Pangan sudah menyalurkan 49.294 jenis makanan kepada 41.557 penerima

 Caption: Eva Bachtiar bersama relawan Garda Pangan.
Foto: Dokumentasi: Garda Pangan
Caption: Eva Bachtiar bersama relawan Garda Pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Purnama Putra, wartawan Republika

Tanpa disadari masyarakat, rata-rata orang Indonesia membuang makanan mencapai 300 kilogram per tahun. Berdasarkan penelitian dari Economist Intelligence Unit pada 2017, Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia dalam hal pembuangan sampah makanan (food waste). Di sisi lain, ada sekitar 19,4 juta penduduk yang harus berjuang untuk bisa makan setiap harinya agar tidak kelaparan.

Menyikapi fenomena tersebut, Eva Bachtiar tergerak untuk membuat sebuah wadah berupa food bank untuk menyelamatkan makanan sisa yang masih layak konsumsi dan dibagikan kepada warga Surabaya yang membutuhkan. Melalui perusahaan rintisan (start up) Garda Pangan, Eva bertekad ingin mengurangi jumlah makanan yang terbuang sia-sia, padahal sebenarnya masih bisa dimanfaatkan.

"Kita start mulai Juni 2017 atau sudah satu setengah tahun ini, concern mempertemukan orang yang kelebihan makanan dengan yang membutuhkan di Surabaya," kata Eva saat berbincang dengan Republika, belum lama ini.

Eva menerangkan, Garda Pangan bermula dari pengalaman salah seorang pendirinya, yaitu Dedhy Trunoyudho yang berlatar belakang pengusaha katering pernikahan, yang sering menghadapi masalah pembuangan makanan setiap pekannya. Dari sudut pandang bisnis, menurut Eva, apa yang dilakukan Dedhy menjadi pilihan ideal karena merupakan solusi cepat, murah, dan praktis untuk dilakukan.

 

Kebiasaan membuang makanan tersebut ternyata dicermati oleh Indah Audivtia, istri Dedhy, yang menganggap keputusan itu hal yang menyesakkan dan mengganggu. Berawal dari kegelisahan itulah, Dedhy dan Indah akhirnya tergerak untuk memilih langkah lain, dengan mendonasikan makanan berlebih. Eva mengatakan, ia yang juga mempunyai semangat  untuk menyelesaikan isu pembuangan makanan berkolaborasi bersama pasangan suami istri tersebut, menginisiasi gerakan bank makanan di Kota Pahlawan.

Eva menerangkan, tidak banyak yang tahu bahwa banyak kerugian yang dihasilkan dari proses pembuangan makanan. Selain masalah ekonomi, sambung dia, makanan yang dibuang dan menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) juga menghasilkan gas metana. Hal itu sama saja Indonesia turut berkontribusi terhadap pemanasan global.

"Yang paling parah dampak sosialnya, kenapa banyak banget makanan dibuang, tapi ada 19 juta orang kesulitan mendapatkan makanan? Ini gap-nya besar sekali," ujar Eva.

Dia pun bergerak cepat untuk menjadi agen perubahan dengan berusaha memfasilitasi pihak yang kerap membuang makanan sisa dengan mereka yang membutuhkannya sehari-hari. Garda Pangan, kata dia, bekerja sama dengan pelaku industri hospitality, di antaranya restoran atau rumah makan, hotel, perusahaan katering, kafe, hingga toko roti, buah, dan sayuran yang memiliki konsep tidak menyisakan makanan di hari itu.

Maksudnya, berbagai jenis makanan tersebut selama ini kalau tidak laku akan dibuang oleh pemilik atau pihak manajemen. Eva mengatakan, Garda Pangan ingin berbagai jenis makanan sisa tidak langsung dibuang ke tempat sampah. Dengan melakukan food rescue, pihaknya ingin agar surplus makanan yang dihasilkan oleh bidang usaha itu terhindari dari potensi terbuang.

"Mekanismenya kita mengambil, misalnya bisa toko bakery dari 100 roti, yang terjual 70 dan sisa 30. Daripada dibuang, kita ambil karena masih sangat layak," ucap Eva yang juga menjadi konsultan pertanian tersebut.

Menurut dia, Garda Pangan tidak asal mengambil makanan sisa, lantaran harus dipastikan higienisnya. Eva menjelaskan, setiap relawan yang bertugas harus melakukan pemeriksaan kualitas makanan, sebelum didistribusikan kepada masyarakat prasejahtera. Hingga November 2018, tercatat 49.294 jenis makanan yang disalurkan dengan total 41.557 penerima manfaat, dan menyelamatkan tujuh ton potensi makanan terbuang.

Dia mengatakan, Garda Pangan juga bergerak untuk menyelenggarakan food drive atau pengumpulan donasi surplus makanan pada momen-momen tertentu. Misalnya, pengumpulan kue kering berlebih pasca-Hari Raya Idul Fitri, atau saat terjadi bencana alam. Pengumpulan donasi dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan menitipkan kotak-kotak donasi di beberapa drop point di Surabaya, hingga penjemputan donasi oleh para relawan.

Dia mengatakan, setiap harinya ada tiga relawan yang bergerak menjadi distributor makanan untuk disebar di area Surabaya. Pihaknya juga menggandeng Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas untuk menyalurkan makanan pascaacara yang digelar di kampus, seperti seminar dan wedding organizer agar lagi-lagi tak ada makanan yang terbuang percuma.

"Wilayahnya masih di Surabaya. Mimpi besar kita, juga bisa buka di kota besar lain, tapi tidak mau grusu-grusu, fokus dulu memperkuat di Surabaya. Kalau sudah mapan gampang buka cabang," katanya.

Selain itu, pihaknya juga turut aktif menyebarkan kesadaran untuk mengurangi sampah makanan kepada masyarakat lewat kampanye kreatif di media sosial (medsos) hingga car free day (CFD). Dari hasil survei yang dilakukan Garda Pangan kepada 321 responden yang tersebar di 31 kecamatan di Kota Surabaya, sambung dia, didapati fakta masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tindakan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk berkontribusi mengurangi sampah makanan.

"Kesadaran untuk menghargai makanan dan mengurangi sampah makanan sebaiknya dipupuk sejak dini. Kami menganggap edukasi terhadap isu sampah makanan untuk anak-anak sangat penting, untuk menciptakan generasi yang sadar dan peduli terhadap permasalahan ini," ujar Eva.

Pemilik Tanak Melayu Resto Riyan Kaizir mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Garda Pangan, karena memang memiliki visi meniminalisasi limbah makanan. Sehingga kalau ada surplus makanan, ia akan menyerahkan kepada Garda Pangan selama masih layak, untuk disalurkan kepada para penerima. "Tentu kami senang sekali dengan kegiatan positif seperti ini. Apalagi teman-teman Garda Pangan sangat konsisten dan peduli dengan permasalah food waste," kata Riyan.

Salah satu penerima manfaat bernama Bu Mira mengaku, ia termasuk keluarga yang kurang mampu. Sehingga sangat membutuhkan bantuan makanan gratis yang diantar relawan Garda Pangan. "Jadi kami senang sekali, karena bisa ikut merasakan makanan yang enak, terjamin sehat, dan bergizi," kata Bu Mira.

Juara The NextDev

Perusahaan rintisan Garda Pangan yang berbasis situs di alamat gardapangan.org mengajak semua kalangan untuk berpartisipasi menjadi agen perubahan. Di laman tersebut, masyarakat bisa ikut memberi donasi makanan, donasi tunai, mengusulkan penerima manfaat, dan menjadi relawan.

Eva menuturkan, berkat kehadiran Garda Pangan yang dianggap membawa kebaikan di masyarakat, ia bersama Dedhy dan Indah ikut The NextDev 2018, sebuah kompetisi start up lokal yang mendorong anak muda Indonesia untuk berkarya lewat teknologi tersebut diadakan Telkomsel. Eva mengaku, tidak menyangka aplikasi ciptannya bisa menjadi juara dan terbaik di mata juri.

"Mungkin karena Garda Pangan memberi dampak luar biasa bagi masyarakat, sehingga dinyatakan pemenang," kata Eva. Dia menambahkan, penghargaan itu akan semakin memacu pengelola Garda Pangan untuk bisa lebih baik lagi melayani masyarakat tak mampu agar bisa mendapatkan pasokan makanan secara berkelanjutan.

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, tiga pemenang The NextDev 2018, termasuk Garda Pangan merupakan aplikasi terbaik yang memiliki kemampuan untuk memberi solusi bagi masalah yang ada di tengah masyarakat. “Semoga aplikasi-aplikasi ini dapat memberikan dampak langsung yang positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat,” kata Ririek dalam siaran.

Ririek menambahkan, setiap tahunnya kompetisi The NextDev yang dimulai 2015, terus menelurkan aplikasi digital yang inovatif. Hal itu menunjukkan tingginya kreativitas anak muda Indonesia untuk mencari solusi menggunakan teknologi bagi permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya.

Hal itu sesuai dengan upaya Telkomsel dalam membangun ekosistem digital di Indonesia, di mana salah satu komponen utamanya adalah kehadiran berbagai aplikasi yang berkualitas ciptaan anak negeri. Menurut Ririek, para peserta The NextDev juga diberi pelatihan agar memperoleh pengetahuan dan informasi yang komprehensif mengenai teknologi perusahaan rintisan untuk meningkatkan kualitas aplikasi yang mereka ciptakan dan membangun bisnis dalam waktu dekat.

Di samping itu, para peserta juga mempelajari berbagai keterampilan secara lebih mendalam untuk menghasilkan strategi perencanaan produk yang matang dan siap untuk dipasarkan. “Kami melihat teknologi bisa menjadi percepatan dalam penyelesaian suatu masalah. Kami harap program ini bisa memberikan inspirasi bagi lebih banyak lagi anak muda Indonesia untuk berkarya melalui teknologi, mewujudkan ide dan impian mereka melalui kreasi aplikasi digital,” kata Ririek.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement