REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Maluku Utara (Malut) menyatakan, pemberantasan narkoba belum maksimal. Ini karena BNN Malut kekurangan tenaga penyidik.
"BNN Malut hanya memiliki empat penyidik, idealnya harus memiliki 15 hingga 20 penyidik untuk menangani kasus narkoba," kata Kepala BNN Malut Brigjen Pol Dr Benny Gunawan dalam rilis pers akhir tahun, di Ternate, Senin (31/12).
Benny menyatakan, selain kekurangan penyidik, BNN Malut saat ini belum memiliki Kabid Pemberantasan yang harus diisi oleh perwira menengah dari Polri. Oleh karena itu, kata Benny, dengan kekurangan tenaga penyidik ini, tentunya BNN Malut pada tahun 2019 akan mengirimkan para PNS berkualifikasi sarjana untuk mengikuti pendidikan sebagai tenaga penyidik di BNN.
Provinsi Malut merupakan salah satu daerah rawan narkoba dan menjadi pintu masuk peredaran narkoba khususnya di berbagai kepulauan. Selain itu, Malut berada dalam posisi 27 dari 34 provinsi di Indonesia.
"Malut merupakan provinsi kepulauan dan menjadi prioritas utama dengan membangun kekuatan bersama masyarakat di daerah kepulauan, karena memudahkan jaringan untuk menyuplai dan mengedarkan narkoba di wilayah ini didominasi jenis sabu-sabu dan ganja dari Papua," katanya pula.
Benny mengatakan, masalah geografis ini menjadi sasaran utama dan pangsa pasar terbaik di dunia. Karena, masyarakat belum memahami secara luas mengenai narkoba dan bahayanya, padahal sudah ada 13 ribu pengguna narkoba di Malut.
Menurut Benny, pihaknya untuk tahun 2018 ini telah membentuk relawan antinarkoba yang dikukuhkan sebanyak 160 lembaga relawan dengan jumlah 41.813 orang.
Selain itu, BNN Malut juga melaksanakan program pemberdayaan masyarakat antinarkoba yang bertujuan membekali calon penggiat antinarkoba. Ada pun materinya tentang Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4G) dalam menyampaikan pesan-pesan antinarkoba ke publik, di antaranya 13 instansi pemerintah, 15 instansi swasta, 14 lembaga pendidikan, dan 11 lembaga masyarakat.