Senin 31 Dec 2018 14:48 WIB

Siti Nurbaya: Pemetaan Hutan Sosial Sudah Lebihi Target

Pemetaan dan pencadangan hutan sosial capai 13 juta ha melebihi target 12,7 juta ha.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Gita Amanda
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam acara Dialog Refleksi Kinerja 2018 untuk Peningkatan Kerja Tahun 2019 di Gedung Kementerian LHK, Jakarta, Senin (31/12).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam acara Dialog Refleksi Kinerja 2018 untuk Peningkatan Kerja Tahun 2019 di Gedung Kementerian LHK, Jakarta, Senin (31/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mencatat, pemetaan dan pencadangan hutan sosial sudah mencapai 13 juta hektare. Angka tersebut melebihi target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita, yakni 12,7 juta hektare (ha).

Tindak lanjut dari pemetaan dan pencadangan ini adalah bagaimana artikulasi mendistribusikan izin. Menurut Siti, proses ini yang menjadi tantangan besar karena harus melibatkan banyak pihak. "Entah itu pemerintah daerah (pemda), maupun aktivis dan akademisi yang terus memberikan pendampingan kepada masyarakat," ujarnya dalam acara Dialog Refleksi Kinerja 2018 untuk Peningkatan Kerja Tahun 2019 di Gedung Kementerian LHK, Jakarta, Senin (31/12).

Menurut catatan Kementerian LHK, realisasi izin perhutanan sosial sampai Desember 2019 adalah 2.504.197 hektare yang dibagikan ke sekitar 586 ribu Kepala Keluarga (KK). Total itu tercatat dalam 5.391 Surat Keputusan (SK) yang tersebar di 305 Kabupaten.

photo
Refleksi Kinerja Kemenhut 2018. Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar menyampaikan paparan saat Dialog Refleksi Kinerja 2018 untuk Peningkatan Kerja Tahun 2019 di Jakarta, Senin (31/12). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mencatat, pemetaan dan pencadangan hutan sosial sudah mencapai 13 juta hektare. Angka tersebut melebihi target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita, yakni 12,7 juta hektare.

Sepanjang 2018, rata-rata pemberian izin perhutanan sosial adalah 105 ribu per bulan. Jumlah ini meningkat dibanding dengan tahun lalu yang hanya 44 ribu per bulan. Menurut Siti, peningkatan signifikan ini serigin dengan perbaikan tata kelola berupa debirokrasi dan deregulasi.

Dalam menjalankan program perhutanan sosial, Siti menambahkan, Kementerian LHK menerapkan kebijakan afirmatif. Yakni, dengan meningkatkan rasa keadilan bagi masyarakat termasuk masyarakat adat. "Langkah korektif ini juga mendorong perbaikan citizenship dan demokratisasi dalam tata kelola lahan," katanya.

Terdapat tiga langkah yang diaplikasikan dalam kebijakan ini. Pertama, mempertegas perluasan kesempatan kerja pedesaan dari 586 ribu KK yang mendapatkan SK Hutan Sosial. Kedua, mendorong sentra produksi rakyat yang mengayunkan pendulum pertumbuhan ekonomi baru di desa-desa. Terakhir, mengintegrasikan ekonomi hutan sosial ke dalam sektor formal ekonomi Indonesia.

Melalui kebijakan ini, Siti optimistis, realisasi izin hutan sosial sebanyak 12,7 juta hektare dapat selesai pada lima hingga delapan tahun lagi. Pada saat itu juga, proporsi masyarakat terhadap hutan dapat meningkat, meski korporasi tetap mendominasi. "Kalau sekarang masih proporsinya masih 95:5, nanti bisa 70:30," tuturnya.

Salah satu tantangan terbesar dalam menjalankan program perhutanan sosial adalah mendorong kapasitas kelola usaha hutan sosial. Siti mengatakan, untuk mengantisipasinya, peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi program prioritas. Di antaranya kapasitas pendamping, kelompok tani hutan dan kesatuan pengelola hutan melalui bakti rimbawan.

Sementara itu, Aktivis Kehutanan Tosca Santoso menilai, birokrasi masih menjadi kendala utama dalam realisasi izin perhutanan sosial. Baik itu di tingkat internal kementerian maupun pemerintah daerah. "Pemerintah harus lebih sigap dan terbuka melayani warga," ujarnya.

Saat ini, Tosca mencatat, realisasi izin dari pemerintah belum mencapai 20 persen dari target yang ditetapkan Presiden Jokowi. Oleh karena itu, dibutuhkan berbagai program percepatan. Khususnya di birokrasi yang kerap menjadi kendala.

Tidak kalah penting, Tosca menuturkan, yakni terkait kemudahan pinjaman dari perbankan. Setelah mendapatkan akses atau izin hutan sosial, permasalahan yang dialami masyarakat adalah modal. Sebab, mereka baru bisa menuai hasil dari hutan mereka dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun ke depan.

Saat ini, baru sedikit perbankan yang berani meminjamkan modal. Tosca mengatakan, alasannya adalah perbankan belum siap dengan prosedur perhutanan sosial yang sifatnya mendatangkan pendapatan dalam jangka panjang. "Bank belum berani cairkan pinjaman karena masa pengembalian petani biasanya lebih dari 48 bulan," ujarnya.

Tosca menjelaskan, pemerintah harus segera berkoordinasi dan mendorong perbankan agar mereka bisa lebih berani dalam berinisiatif. Bank juga harus lebih adaptif dengan kebijakan perhutanan sosial yang bersifat jangka panjang.

Poin berikutnya, pemerintah pusat juga harus bekerja sama dengan pemerintah daerah agar lebih cepat dalam proses verifikasi. Pada beberapa kasus, Tosca menceritakan, masyarakat harus menunggu waktu sembilan bulan untuk mendapatkan izin. "Mungkin karena terkendala di tim atau seperti apa, tapi ini harus segera ditangani untuk percepatan realisasi izin," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement