REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag), Mohamad Nur Kholis, mengatakan pihaknya menyerukan agar masyarakat menghindari perilaku ekstremisme beragama. Masyarakat diminta hidup saling mengayomi dan adil.
"Kami menyerukan kepada semua pihak untuk senantiasa menghindari perilaku ekstrem dan eksklusif dalam beragama, serta mengedepankan keteladanan moderasi beragama yang mengayomi, santun, adil, berimbang, serta saling menghargai satu pandangan dengan pandangan lain," ujar Nur Kholis kepada wartawan di Hotel Discovery, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (28/12).
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas dirumuskannya 'Risalah Jakarta' sebagai pedoman kehidupan beragama di Indonesia. Menurut Nur Kholis, risalah tersebut akan dijadikan pedoman dalam menata kehidupan dan kerukunan umat beragama ke depannya.
Selanjutnya, Kemenag juga menyatakan komitmen untuk memberikan pelayanan pendidikan moderasi beragama, jaminan dan perlindungan kehidupan umat beragama sesuai regulasi yang ada. Terakhir, Kemenag akan menyediakan fasilitas dan akses program agar mereka yang dianggap memiliki keluasaan pengetahuan dan otoritas keagamaan dapat terus hadir di ruang-ruang publik dan di dunia digital, untuk memberikan pencerahan nilai-nilai moral dan spiritual agama melalui jalur-jalur kebudayaan.
"Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, agama diyakini sebagai sumber nilai yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, perilaku kehidupan beragama di era kekinian menunjukkan adanya kecenderungan mereduksi nilai-nilai luhur agama menjadi terbatas pada penonjolan aspek-aspek lahir formalisme hukum dan politik, seraya mengabaikan aspek-aspek moral dan spiritual agama," jelas Nur Kholis.
Dia melanjutkan, kehidupan beragama dalam konteks kekinian juga menunjukkan fenomena pendangkalan pengetahuan akibat indoktrinasi serta ketersediaan bacaan yang serba instan dan serba cepat di media sosial, sehingga lebih mengedepankan emosi ketimbang rasa. Menurut dia, konservatisme beragama sebenarnya bukan masalah dalam kehidupan beragama.
"Namun, sikap ultra konservatif, dalam wujud eksklusifisme dan ekstremisme beragama, telah mereduksi dan mengingkari esensi ajaran agama itu sendiri, serta dalam konteks kekinian telah mengekang kreativitas sekaligus menghilangkan rasa aman para generasi muda yang selama ini berkreasi menyisipkan konten nilai-nilai agama di ruang-ruang digital. Karena itu dirasa perlu adanya jembatan untuk melakukan sinergi antara otoritas keagamaan dengan kebutuhan generasi milenial kekinian," jelas Nur Kholis.
Sebab, dia mengakui bahwa kehadiran otoritas yang memiliki pengetahuan agama, baik dari kalangan agamawan maupun akademisi, sejauh ini dirasakan kurang hadir mengisi dahaga keberagamaan publik lewat ruang-ruang media sosial padahal sejatinya mereka dirasa sangat mampu menghadirkan nilai-nilai luhur moral dan spiritual agama.