REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit menyinggung soal laporan adanya malfungsi alat pengukur pasang surut air laut atau tide gauge di beberapa titik di Sumatra Barat. Nasrul memandang bahwa fungsi alat pengukur pasang surut laut menjadi penting untuk sebagai bagian dari sistem deteksi dini adanya tsunami, sekaligus sebagai alat konfirmasi terjadinya tsunami bila terjadi gempa dengan magnitudo besar.
"Semua akan kita aktifkan lagi karena isu tsunami ini kuat. Kita akan pulihkan bersama Pemda. Kita ke Kemenkomar (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman) juga," jelas Nasrul, Jumat (28/12).
Menurut Nasrul, kejadian tsunami menerjang pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung memberi pelajaran bagi daerah lain yang memiliki ancaman bencana serupa. Sumbar sendiri memiliki dua sumber gempa di laut lepas sebelah barat Pulau Sumatra yang bisa menimbulkan tsunami. Nasrul ingin seluruh alat pengukur tinggi muka air laut di Sumatra Barat bisa berfungsi optimal agar kerugian akibat tsunami bisa ditekan, terutama korban jiwa bisa dinolkan.
Pernyataan Nasrul mengacu pada keluhan para pemerhati kebencanaan di Sumatra Barat terkait tidak terawatnya alat pengukur muka air laut. Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatra Barat, Ade Edward, merinci bahwa Sumatra Barat memiliki 5 unit tide gauge. Kelimanya berlokasi di Teluk Bayur Kota Padang, Caorocok di Painan, Sikakap di Mentawai, Tuapejat di Mentawai, dan Pokai Sikabaluan di Mentawai. Sayangnya, berdasarkan pantauannya hanya satu tide gauge yang aktif mengirim data secara daring yakni di Teluk Bayur.
"Sementara yang lainnya diduga tidak aktif karena berbagai hal sehingga tidak aktif juga mengirim data secara online," jelas Ade.
Bahkan Ade juga menunjukkan sebuah foto yang menggambarkan kondisi salah satu tide gauge yang terlihat tidak terawat. Ia mencontohkan, alat pengukur muka air laut di Mentawai kini tidak aktif mengirim data secara daring 24 jam.
Ade mengingatkan pemerintah bahwa keberadaan tide gauge menjadi sangat penting untuk mendeteksi dini bila akan ada tsunami, akibat longsoran tebing bawah laut di timur Kepulauan Mentawai. Ancaman tsunami ini, mirip dengan yang terjadi di Selat Sunda, bisa mengirim gelombang laut lebih cepat ke daratan.
"Agar Sumbar tidak kecolongan seperti Palu dan Anyer, maka sebaiknya tide gauge diaktifkan kembali untuk deteksi dini bila ada longsor di bawah laut," kata Ade.
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Bidang Jaring Kontrol Horizontal dan Vertikal Badan Informasi Geospasial (BIG) Joni Efendi menepis tudingan bahwa alat pengukur muka air laut di Perairan Sumatra Barat nonaktif. Joni menyebutkan bahwa seluruh tide gauge di Sumatra Barat secara kontinyu masih mengirimkan data ketinggian muka air laut ke pusat data BIG. Ia menjelaskan, setiap stasiun pasang surut alias tide gauge memiliki tiga sensor. Bila satu sensor rusak, maka ada dua sensor lain yang bekerja.
"Kalau ketiganya rusak dan tidak ada data masuk, kami langsung kirim petugas untuk cek ke lokasi," jelas Joni.
Joni menjelaskan bahwa data tinggi muka air laut yang terpasang akan mencatat data setiap menit berjalan. Sedangkan pengiriman data ke server BIG dilakukan setiap lima menit sekali. Joni bahkan menjamin bahwa data-data ini bisa diakses langsung di situs BIG yang secara terbuka menampilkan data ini kepada masyarakat.
"Cuma kadang-kadang kalau Mentawai sinyal GSM lemah atau terkendala sehingga data lambat. Pengirim data ini di sana pakai serupa GSM," ujar Joni.
BIG, ujar Joni, memastikan seluruh stasiun pencatat muka air laut di Indonesia mendapatkan perawatan yang layak. Menurutnya, maintanance dilakukan setiap tahun sekali dengan mengirim petugas ke lapangan. BIG mencatat saat ini terdapat 138 stasiun pengukur muka air laut yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini, hanya 2 alat yang tercatat nonaktif yakni di Luwuk, Sulawesi Tengah.