REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pemerintah Provinsi Sumatra Barat kembali mengangkat isu tentang perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam rencana kebijakannya. Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menyebutkan, pihaknya sedang mematangkan rancangan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang LGBT.
Nantinya, ujar Nasrul, penamaan Perda tidak akan secara gamblang disebut 'Perda tentang LGBT'. Poin-poin yang menyangkut LGBT akan diselipikan dalam tubuh perda yang ditargetkan bisa terbit 2019 tersebut.
"Kenapa ini kita perhatikan? Karena secara hukum mereka (pelaku LGBT) tidak bisa ditindak pidana karena memang tidak ada payung hukumnya. Dengan Perda ini minimal Satpol PP bisa lakukan operasi," jelas Nasrul, Kamis (27/12).
Nasrul melihat bahwa persoalan LGBT mendesak untuk diatur. Ia mengutip data yang tercatat di RSUP M Djamil Kota Padang bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatra Barat per Desember 2018 menyentuh angka 1.860 orang.
Dari angka tersebut, sekitar 70 persen ditularkan dengan perilaku LGBT. Dengan adanya payung hukum berupa Perda, Nasrul ingin Satpol PP bisa melakukan tindakan bila memang ditemukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat.
"Data ini kami buka supaya Perda segera digolkan. Kita undang semua, stakeholder, Dinkes, Disdik, Bundo Kanduang, hingga perguruan tinggi untuk ikut memahami kondisi ini," jelas Nasrul.
Sebelumnya, Pemprov sempat menyebutkan bahwa poin yang mengatur tentang perilaku LGBT akan diselipkan dalam Perda tentang Ketahanan Keluarga. Melalui Perda yang akan terbit 2019 ini, pemerintah memberikan arahan bagi para orang tua untuk memastikan anak-anak mereka mendapat pendidikan budi pekerti dan agama yang baik di lingkungan rumah.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang mewanti-wanti pemerintah daerah untuk tidak menjadikan Perda tentang LGBT sebagai justifikasi atas kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas seperti pelaku LGBT. Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra mengingatkan, jangan sampai Perda yang singgung LGBT justru menjustifikasi tindakan kekerasan dan persekusi terhadap kelompok tersebut.
Menurutnya, assessment atau penilaian terhadap kelompok LGBT tidak bisa dinilai sekadar dari tampilan fisik.
Penilaian fisik yang Wendra maksud misalnya, seorang perempuan berambut pendek dan berperilaku seperti laki-laki atau seorang laki-laki yang bergaya sedikit kemayu, maka keduanya tak bisa langsung disebut sebagai pelaku penyimpangan seksual. Persoalan ini, terkait pihak yang disasar Perda LGBT, dikhawatirkan menjadi alat persekusi atau menuduh individu secara sepihak.