Kamis 27 Dec 2018 17:07 WIB

ICMI Melihat Fenomena Penurunan Nalar Demokrasi

Demokrasi menempatkan sikap saling percaya sebagai landasan utama.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agus Yulianto
Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menyampaikan, ada sejumlah hal yang bila diabaikan dapat menyeret bangsa ini ke masa depan tanpa arah. Hal tersebut adalah hilangnya nalar dalam praktik demokrasi. Hal ini berada dalam kedalaman yang tersembunyi dari berbagai fenomena dan peristiwa yang terus berlangsung.

"Sebagaimana kita saksikan bersama, fenomena paling menonjol menyongsong Pilpres 2019 adalah kian menajamnya sikap saling menista dan menghujat antara dua kelompok pendukung Capres dan Cawapres," kata Ketua Umum ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie kepada Republika saat konferensi pers refleksi perjalanan bangsa tahun 2018 di Sekretariat ICMI Pusat, Rabu (26/12).  

Jimly mengatakan, situasi tersebut tampaknya remeh. Tetapi, penting diingat bahwa masa depan Indonesia sebagai sebuah bangsa sangat tergantung pada evolusi kesadaran masa kini yang sedang berlangsung. Evolusi masa kini merupakan wujud perpaduan fungsi organ-organ kompleks dari bangsa ini yang masing-masing mempunyai kekuatan penetratif. Yaitu suatu kemampuan mempengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat di mana dinamisme inti kehidupan berbangsa itu ditentukan. 

Dikatakan Jimly, sikap saling menista adalah refleksi lahiriah dari sebuah situasi batin tertentu yang mencuat dari dinamisme. Sikap saling menista juga dapat merusak sensasi berbangsa. 

Sementara sikap saling menghormati menjadi merosot. Kondisi ini, tentu tidak dapat dianggap sepele. Sebab ini berarti hilangnya percaya antar kelompok anak bangsa. Aspek ini berhubungan dengan kondisi koherensi yang dibutuhkan dan menjadi prasyarat keberlangsungan kehidupan berbangsa. 

"Kita pun telah menyaksikan manifestasinya yang paling konkrit yakni peristiwa saling serang secara fisik antar kelompok pendukung Capres dan Cawapres yang terjadi beberapa waktu lalu," ujarnya.

Dia mengatakan, demokrasi menempatkan sikap saling percaya sebagai landasan utama di mana prinsip-prinsip demokrasi dapat ditegakkan, seperti prinsip persamaan dan toleransi. Atribut-atribut demokrasi seperti kebebasan mengemukakan pendapat, berserikat dan pemerintahan yang berperwakilan tidak akan dapat ditegakkan manakala tidak memperoleh kondisi terbaiknya dari pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. 

Sebaliknya, yang akan berkembang tindakan saling menindas saingan-saingan dalam perjuangan untuk meraih keunggulan-keunggulan politik. Dalam bahasa agama disebutkan bahwa jika padanan kemerdekaan adalah kebaikan budi dan kasih sayang (rahmah), maka padanan demokrasi adalah saling mengasihi (tarahum). 

"Sikap saling menista dan menghujat dengan demikian telah mengosongkan demokrasi dari nalarnya yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan sebagai unsur penting bagi kemajuan demokrasi. Jika demikian yang berlangsung, maka pemilu akan benar-benar menjadi arena tujuan akhir yang menentukan siapa yang kalah untuk dinistakan dan siapa yang menang dengan bangga untuk menistakan," ujarnya.

Jimly menegaskan, artinya pemilu bukan hakim untuk menentukan pemenang dan mengakhiri konflik, kemudian persaudaraan dibangun kembali. Tetapi pemilu sekedar puncak pertarungan untuk mencapai puncak-puncak pertarungan berikutnya. Inilah yang ICMI lihat, denyut ketegangan Pilpres 2019 hampir dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari ketegangan saling menista dan menghujat yang dipicu dan dimulai ledakannya pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. 

Kemudian terus berlanjut dengan berbagai aksi demonstrasi, saling melapor untuk saling menyeret ke meja hijau dan terus berlangsung hingga mewarnai secara massive hiruk-pikuk Pilkada 2018. Kedua kelompok yang bersaing pun akhirnya terperosok pada politik hantu. Yakni hantu PKI versus hantu teroris dan kaum radikal, untuk menciptakan ketakutan masa depan. Masyarakat politik pun akhirnya terpolarisasi sangat tajam.

"Jika itu yang berlangsung, maka sesungguhnya telah terjadi kemerosotan dalam pemahaman demokrasi, nalarnya telah direduksi sekedar arena memperebutkan kekuasaan dan kedigdayaan politik dengan segala kepentingan yang menyertainya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement