Kamis 27 Dec 2018 11:46 WIB

Dangdut Perlawanan dan Rezim Rocker

Rhoma Irama ikut berjuang melawan rezim Orba lewat musik dangdut

Rhoma Irama
Foto: antara
Rhoma Irama

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika dan Pengamat Musik Dangdut

Saya sukar lupa dengan cerita yang dituturkan wartawan senior Republika Alwi Shahab beberapa tahun lalu. Alkisah, guna keperluan liputan khusus Pemilu 2014, saya secara intens ngobrol dengan beliau untuk menggali nuansa pemilihan umum terdahulu.

Tiba pada obrolan tentang Pemilu 1977, Abah Alwi menuturkan kisah itu. Ia mengenang, menjelang Pemilu 1977 pulang agak larut dari kantor. Ketika itu, Abah Alwi, sapaan akrabnya, masih bekerja di LKBN Antara dan hendak pulang menuju rumah di Depok, Jawa Barat, pada pukul 02.00 pagi.

Ketika melewati perempatan Pancoran, Jakarta Selatan, ia melihat ada sosok yang tak asing di tepi jalan. Sosok tersebut bersama beberapa pemuda lainnya tengah berupaya memasang spanduk bergambar ka'bah.

Ia cermati, ternyata pria tersebut ikon musik dangdut saat itu, Rhoma Irama. Pemuda-pemuda yang menemani adalah rekan-rekannya dari Soneta, grup dangdut yang ia dirikan. Abah Alwi angkat tangan, kemudian menyapa sekilas, dan Rhoma membalas singkat.

Pemilu 1977 tentu bukan kisah tentang Rhoma semata. Tapi, kisah Rhoma saat itu bisa menggambarkan bagaimana suasana yang menyelimuti perhelatan tersebut. Pada Pemilu 1977, untuk pertama kalinya penyederhanaan partai digagas pemerintah. Partai-partai yang bertarung pada Pemilu 1971 dilebur menjadi dua kubu.

Nah, menghadapi penyederhanaan partai tersebut, Golkar yang merupakan mesin politik Orde Baru semakin mati-matian berupaya memenangkan pemilu. Orde tersebut juga mulai tak malu-malu menunjukkan sisi represifnya. Haji Rhoma, yang memutuskan berafiliasi dengan PPP memilih berada di seberang rezim.

“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin….” Abah Alwi bernyanyi seturut lirik lagu 'Indonesia' yang kerap dinyanyikan Haji Rhoma dalam kampanye-kampanye PPP kala itu. Lagu yang menurut Abah Alwi selalu mendapat sambutan hangat peserta kampanye.

Singkat cerita, PPP secara mengejutkan menang di DKI Jakarta pada Pemilu 1977 dan Orde Baru marah besar. Kemarahan itu ditujukan juga kepada Haji Rhoma dalam bentuk pelarangan tampil di televisi nasional.

Bagaimanapun, Rhoma tak mau kasih kendor. Pada 1978, ia melansir lagu “Hak Azasi” dalam album “Soneta Vol-8”. Pesan Rhoma untuk rezim sangat kuat dalam lagu itu. “Janganlah suka memperkosa kebebasan warga negara. karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan,” nyanyi Sang Raja Dangdut.

Pada 1997, saat Rhoma kemudian menyerah dan melunak, konstituennya meradang. Terjadi kerusuhan di Pekalongan yang dipicu kemarahan warga karena Haji Rhoma berencana tampil pada acara peringatan Supersemar.

Chuck D, rapper/agitator Public Enemy sempat berkata hip-hop adalah “CNN-nya warga kulit hitam di Amerika Serikat”. Dalam satu dan lain hal, terutama pada masa-masa mula kepopulerannya, demikianlah juga dangdut  bagi kaum marjinal Tanah Air. Ia seperti media yang menuturkan dengan jujur kondisi-kondisi mereka-mereka yang hidup pada strata paling bawah masyarakat Indonesia.

“Musik itu tak hanya meraup penggemar dari masyakat mayoritas di kelas bawah, tapi juga menunjukkan simpati dan pemahaman yang unik atas kondisi mereka,” tulis pengamat dangdut veteran William Fredrick dalam artikelnya terkait sejarah dangdut  pada 1982. Pandangan itu sedikit banyak tergambar dari rerupa lagu dengan judul-judul semacam “Mabuk dan Judi”, “Orang Termiskin di Dunia”, dan “Mabuk Janda”.

“Setangkai Bunga Padi”, lagu yang dari permukaan terdengar sebagai roman picisan juga punya kualitas perlawanan serupa. Sukar disangkal, ia adalah salah satu karya dangdut  terbaik. Almarhum Fazal Dath, pencipta lagu itu, dengan ajaib memantik romantisme dari ajang kampung semacam pesta panen dan nuansa pedesaan seperti suling gembala.

Entah penciptanya sadar atau tidak, imaji-imaji itu melawan arus urbanisasi dan pembangunanisasi pada awal 1990-an yang mengancam banyak sekali sawah-sawah tempat para petani mencari hidup di Tanah Air. Komposernya merangkum nuansa itu dalam nada-nada dengan progresifitas kompleks yang sukar disamai musik Indonesia terkini dari genre manapun.

Perlahan, akhirnya, dangdut kemudian memang naik kelas dan jadi arus utama. Ia kemudian sedikit banyak jadi musik yang “aman” dinyanyikan kapan saja di mana saja. Sekali-sekali, memang masih bisa kita lihat percikan-percikan semangat subversif dangdut lama.

Satu momen yang jadi cerminan, ironisnya, justru terjadi di salah satu ajang dangdut paling komersial saat ini, “Dangdut Academy di Indosiar”. Alkisah pada 14 November lalu, seorang kontestan, Jorgelino menyanyikan “Harus Berakhir” gubahan Rhoma Irama. Sebelum memasuki lirik asli itu lagu, Jorgelino sempat menyanyikan senandung berbahasa Tetum.

Selesai itu lagu, jawaban yang ia berikan saat ditanyai alasan menyanyikan senandung itu membuat pengelola acara tersebut kelimpungan. “Ini untuk memperingati peristiwa 12 November. Peristiwa sakral pokoknya,” kata dia.

Mengingat negara asalnya, tak bisa tidak 12 November yang ia maksudkan adalah satu hari pada 1991 silam. Saat itu, terjadi penembakan oleh tentara RI terhadap warga Timor Leste di Pemakaman Santa Cruz yang menyebabkan ratusan meregang nyawa. Kejadian itu jadi salah satu titik yang menguatkan argumen soal perlunya Timor Leste berpisah dari NKRI.

Ada juga kisah penyanyi dangdut senior Nina Hasyim yang menjabat sebagai kepala desa Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Sejak 2013 silam, ia sudah punya janji bakal menyuarakan keluhan warganya soal kerusakan jalan provinsi yang melintasi desa itu akibat kerap dilalui truk-truk pertambangan pasir.

Bertahun-tahun tak didengar, Nina kembali angkat pelantang. Ia menggubah lagu soal itu dengan judul “Parung Panjang Menangis”, kemudian mengunggah klip videonya di Youtube. Yang menyaksikan klip yang diunggah pada Agustus silam itu sejauh ini sekitar 11 ribu penonton, jauh dari jutaan yang menyaksikan klip koplo terkini. Kendati demikian, ikhtiar Nina dapat respon. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyambangi desanya dan menjanjikan jalur khusus kendaraan tambang.

Ketika persoalan-persoalan warga biasa seperti kenaikan harga-harga dan tergerusnya lahan akibat pembangunanisasi, juga ketimpangan pendapatan seperti sekarang sukar disuarakan, sejarah panjang soal perlawanan melalui musik dangdut itu agaknya menarik digali kembali. Terlebih saat bersisian dengan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penggemar musik cadas, genre yang sempat sekian lama jadi antitesis dangdut. Terlebih saat musisi-musisi genre lain dari punk melodius sampai pop tanpa malu hati menunjukkan keberpihakan politik mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement