REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomoputro menilai, longsor yang terjadi di kaki Gunung Anak Krakatau pada Sabtu (22/12) berpotensi mengubah bentuk gunung setinggi kurang dari 500 meter di atas permukaan laut itu. Menurut dia, longsoran itu ibarat mengambil salah satu kaki gunung yang lahir pada 1927 tersebut.
Ia menjelaskan, Anak Krakatau itu dibangun dari dua jenis batuan, batuan strombolian (dampak semburan lava pijar) dan lava pijar yang menjadi batu keras. Bebatuan keras itu hanya merada di tenggara, di luar tenggara berisi bebatuan lepas atau talus.
Artinya, kata dia, sebagian besar kaki Anak Krakatau tersusun dari material lepas. "Kalau itu longsor salah satu seperti diambil kakinya," kata dia di Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau, Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Rabu (26/12).
Menurut Purbo, Anak Krakatau akan terus bergerak atau menyesuaikan diri karena kehilangan kakinya. Karena itu, lanjut dia, ada kemungkinan bentuk Anak Krakatau ini akan berubah.
"Kalau satu diambil kakinya pasti melorot yang lain. Mudah-mudahan melorotnya pelan-pelan," kata dia tak bisa memprediksi.
Meski begitu, ia menegaskan, pemicu longsor itu bukan disebabkan hanya karena aktivitas gunung. Pasalnya, erupsi Anak Krakatau sudah berlangsung lama. Apalagi, longsoran terjadi bukan di jalur erupsi.
"Jadi kemungkinan bukan hanya (aktivitas) Anak Krakatau saja. Kalau Anak Krakatau saja harusnya longsor di puncak, bukan di kaki," kata dia.
Menurut dia, ada empat faktor yang bisa menyebabkan material longsor. Empat faktor itu di antaranya gempa bumi, pelepasan material, getaran erupsi, atau hujan.
"Kasus ini kemungkinan gabungan dari semua faktor itu," kata dia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengkonfirmasi berdasarkan citra satelit Jepang, terungkap bahwa bencana tsunami yang terjadi di Selat Sunda pekan lalu terjadi akibat reruntuhan lereng Gunung Anak Krakatau yang kemudian longsor di bawah laut dan memicu bencana yang mematikan itu. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pihaknya mendapat foto citra satelit dari Jepang yang menunjukkan bagaimana kondisi Gunung Anak Krakatau sebelum dan sesudah tsunami.
"Citra sebelum tsunami yaitu pada 20 Agustus 2018, kemudian citra satelit melewati di Selat Sunda memotret gunung per 24 Desember 2018 dan memang betul sebagian lereng runtuh dan ini yang memicu tsunami," katanya saat konferensi pers update H+4 Tsunami Banten, di Jakarta, Rabu (26/12).
Ia mengutip data dari BMKG bahwa, luas gunung yang mengalami runtuh 64 hektare dan kemudian menyebabkan longsor bawah laut. Kemudian longsor inilah yang memicu tsunami yang akhirnya menerjang pantai-pantai yang berada di daerah Selat Sunda.
Menurut Sutopo, hingga kini aktivitas Gunung Anak Krakatau masih terus erupsi tetapi statusnya masih sama. Yakni, berstatus waspada.
"Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) masih menetapkan status waspada atau level II. Jadi tidak benar di media sosial (medos) yang mengatakan bahwa status Gunung Anak Krakatau menjadi level III atau siaga," katanya.