Kamis 27 Dec 2018 05:01 WIB

Benarkah Prancis Lebih Toleran dari Indonesia?

Kesempatan beribadah tak sebebas seperti yang dibayangkan banyak orang.

Muslim Prancis protes dengan diskriminasi dan Islamofobia
Foto: actofamerika.wordpres.com
Muslim Prancis protes dengan diskriminasi dan Islamofobia

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Belakangan ini terus ribut soal toleransi di Indonesia. Lagu ini memang lagu lama yang terus diputar. Ada survei yang mengatakan toleransi di negara ini terancam, masjid radikal, hingga banyak ulama yang menganjurkan kebencian.

Kesan yang ada layaknya Indonesia seperti negara antah berantah dan kaum Muslim di negeri ini layaknya berperilaku barbar. Ada sebutan kota Islami setahun silam dari sebuah lembaga penganjur toleransi yang memberikan kategori sebuah kota yang paling Islami di Indonesia ternyata diberikan kepada kota yang warganya penduduknya minoritas Islam.

Di sisi lain, soal Perda syariah di Aceh dianggap bermasalah oleh sebuah aliran politik yang mengaku sebagai 'generasi milenial'. Yang terakhir dalam hari-hari ini ribut lagi soal perlu tidaknya Muslim mengucapkan Natal kepada rekannya yang Nasrani. Ulama, pejabat, elite publik, hingga orang biasa ikut sibuk memperincangkannya. Mereka terkesan dengan gagah mengklaim dirinya sebagai orang paling toleran dalam beragama karena sudah mengucapkan selamat Natal.

Nah, ketika memperhatikan soal ini ada renungan yang bernas yang datang dari Prancis. Hal ini berupa tulisan jurnalis senior Dini Kusmana Massabuau mengenai apa yang dialami langsung setelah hampir dua puluh tahun tinggal di negeri yang berslogan negeri paling bebas, egalites, dan merdeka itu. Dia bersuamikan warga Prancis yang kini menjadi Muslim. Punya beberapa putra yang kini ada yang berkuliah di sebuah fakultas kedokteran di Prancis. Begini tulisannya:

Saya hanya ingin menyampaikan, di Indonesia semua hari Raya besar agama dirayakan. Diliburkan.

Tahun depan masuk 19 tahun saya bermukim di Prancis.

Setiap bulan Ramadhan saya harus putar otak agar anak-anak bisa berpuasa tanpa adanya keributan dengan sekolah dan guru. Hal itu adalah meminta ijin setiap tahunnya agar anak-anak kami bisa shalat Ied bersama.

Ya kadang mendapatkan ijin, kadang tidak karena hari itu guru sekolah memberikan ujian dan menyatakan tidak bisa diganti harinya.

Kami nurut dan 'nunut' (ikut) saja dengan peraturan yang ada. Kami berpijak pada negara dengan tiangnya yaitu Laïcité (sekulerisme), di mana kekuasaan negara dipisahkan dengan unsur keagamaan. Tidak tercampurkan. Agama adalah pribadi sifatnya.

Maka kami pun sadar ketika anak-anak kami tidak bisa shalat Jum;at karena tak memungkinkan dengan jam sekolah. Dan hal sama juga ketika suami bolong-bolong shalat Jumatnya. Ini karena tak bisa selalu ijin untuk ibadah wajib bagi setiap pria Muslim itu.

Nah, ini memang menjadi banyak hal yang membuat kami tak bisa menjalankan ibadah sebagai Muslim di Prancis ini, layaknya di Indonesia.

Tapi MasyaAllah, kenikmatan selalu bisa kami dapatkan dalam beragama. Ya meski kebebasan itu ternyata berbeda dengan di tanah air Indonesia. Kami bebas menjalankan ibadah agama walaupun hanya sebatas keluarga dan teman.

photo
Muslim Prancis bersiap shalat di masjid.

Pada sekarang ini saya pun terusik dan hanya ingin menyampaikan perasaan terdalam. Hal ini adalah ketika saya membaca berita tentang Irak mengakui perayaan Natal dan meliburkannya. Dalam soal ini tiba-tiba banyak orang di Prancis yang berkomentar hebat. Mereka malah ikut menanyakan Indonesia kapan bisa maju seperti itu. Kata mereka: masak Indonesia masih saja berkutat masalah ucapan Natal, toleransi, dan berbagai hal sejenis lainnya.

Mendengar perkataan itu saya terusik, sayang, dan miris. Ini karena banyak yang lupa dan seolah tak tahu. Indonesia telah sejak dulu melakukan ini, yakni meliburkan hari Natal. Dan saya bangga itu.

Bahkan, tidak hanya perayaan Natal yang diliburkan. Hari Raua Nyepi di Bali yang terkenalpun diliburkan dengan maksud menghormati 'kesunyian total'.Ini pun telah dijalankan dan diterapkan di Indonesia. Lagi-lagi saya bangga dengan hal ini.

Dan masih banyak perayaan lainnya, yang saya rasa hanya di Indonesia, umat beragama dihormati seperti ini. Ya, itu karena dasar negara kita memang Ketuhanan Yang Maha Esa.

Alhasil, sekali lagi, karena saya miris terutama ketika umat Islam masih saja dipojokkan di Indonesia dengan dalih kurang toleransi. Nah, bila sebagai Muslim seperti kami yang merantau dan berkeinginan agar bisa menjalankan agama, akan terasa sekali betapa Indonesia begitu indah dengan pengakuan akan setiap agama pilihan warganya.

Sekarang saya rindu suara azan. Rindu suasana Ramadhan. Rindu melihat shalat Idul Fitri yang bisa dilakukan tanpa harus mencari sejuta alasan agar anak-anak kami bisa bersama kami. Rindu shalat berjamaah di masjid kapan pun. Rindu mendengarkan pencerahan agama secara langsung.

Tapi tinggal di Prancis saat ini adalah pilihan kami. Dan itu tidak menghalangi kami untuk selalu taat beribadah. Bahkan kadang terasa lebih dekat. Karena semua ibadah yang kami lakukan adalah untuk Allah. Bukan karena alasan sosial, rasa tak enak, malu akan dan dengan seseorang atau sesuatu.

Kemarin kami datang ke mertua seperti setiap tahunnya untuk santapan perayaan Natal. Ini sangat penting bagi mereka. Meskipun mereka tahu kami keluarga Muslim.

Saya bahagia melihat raut kedua orang tua suami begitu ceria. Melihat anak-anak mereka berkumpul, cucu-cucu mereka meramaikan suasana. Membuka kado. Kegirangan. Ya cucu-cucu dari dua pihak: Islam dan Kristiani.

Anak-anak kami, sudah tahu, mereka Muslim. Merayakan Natal adalah sebatas rasa hormat dan sayang terhadap keluarga ayahnya.

Kami tak pernah menghias pohon Natal di rumah, dan memang tidak pernah ada. Tak ada kado natal bagi anak-anak kami karena orang tua mereka tidak natalan. Namun, saat anak2-anak kami kecil, kami masih meluluskan permintaan, nenek kakek mereka untuk menghias pohon cemara. Sebatas tradisi. Semua dalam kompromi dan keindahan.

photo
Suasana Masjid AverAverreos (Ibnu Rush) di Montpellier. Prancis.

Dan saya, melihat ini kadang menangis. Ingat orang tua, yang tak ada kami saat berlebaran. Sebab, tak ada saya yang biasa ikut dan senang sekali membuat ketupat. Tapi ridho orang tua membuat saya kuat melewati ini.

Hanya ingin menyampaikan. Bahagialah kalian yang hidup di Indonesia. Karena agama kalian begitu dihargai. Karena kesempatan menjalankan agama begitu mudahnya. Karena setiap hari Raya, bisa berkumpul dan beribadah dengan orang-orang tersayang. Karena sejak kecil anak-anak bisa mempelajari agama yang dianutnya.

Indonesia jelas mengakui berbagai agama. Karena itu, berbahagialah dengan kenyataan yang sekarang ini ada. Karena kebebasan beragama dengan menjadi Muslim itu tidak bisa kita dapatkan seperti kita mendapatkan di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement