Rabu 26 Dec 2018 00:00 WIB

Perlunya Memasukkan Pendidikan Bencana ke Kurikulum

Indonesia bisa mencontoh Jepang yang bisa menghadapi bencana.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emerald*

Innalillahi wa Innnalillahi Rojiun, hanyalah itu yang bisa penulis sampaikan. Hal itu karena Indonesia tahun ini kembali dirundung bencana.

Tepat pada Sabtu (22/12) tsunami di Selat Sunda menerjang ke beberapa daerah yang hingga Ahad (23/12) menyebabkan 222 orang meninggal dunia.

Hingga kini berbagai pihak masih menyelidiki penyebab terjadinya tsunami. Sebagian besar menyebut bencana tsunami terjadi akibat aktivitas vulkanik Anak Krakatau.

Apapun itu, kisah pilu ini terjadi tepat di pengujung tahun dimana sebagian besar masyarakat sedang menikmati waktu liburnya. Hal ini pun mendorong penulis untuk kembali menulis kalimat membangun bangsa sadar bencana.

Penulis meyakini bangsa sadar bencana hanya bisa terbentuk melalui pendidikan. Namun pendidikan baik tertulis maupun praktik ini tak sekadar seremoni sambil lalu saja.

Kepala dinas kabupaten atau kota datang baru kemudian dicetuskan. Atau ketika mulai terjadi gempa di suatu daerah seketika digalakkan hingga kemudian tak dilakukan secara intens. Sehingga pada ujungnya kemudian karena keterbatasan alat bantu dan dana, lalu kemudian ditiadakan.

Pendidikan ini harus intens, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi dan masuk dalam kurikulum. Sehingga pengenalan bencana dilakukan sejak anak usia dini.

Pola pendidikannya pun mungkin berbeda antara balita dan anak usia SD. Balita mungkin bisa dikenalkan mulai gambar atau permainan. Apalagi setiap anak pasti menyukai permainan dan jalan-jalan. Sehingga tidak ada salahnya membuat taman atau arena yang memperlihatkan bahaya bencana. Sementara anak usia sekolah bisa diselipkan di dalam mata pelajaran.

Paragraf di atas hanya contoh saja, karena penulis yakin pakar pendidikan lebih mengerti terkait itu. Penulis pun sebenarnya punya pengalaman pribadi soal itu.

Putra penulis yang berusia empat tahun ternyata lebih tahu bahaya dibandingkan penulis. Ia yang kini hanya baru menempuh pendidikan preschool mengingatkan penulis soal penggunaan helm di arena es.

Padahal tepat hari itu ialaha pertama kali putra kami menginjakkan kaki di arena taman salju. Ternyata, penggunaan helm dalam kondisi bahaya ia ketahui melalui permainan atau gim pendidikan yang ada di ponsel.

Penulis tak ingin mengatakan bahwa anak boleh bermain ponsel namun ingin menunjukkan bahwa edukasi bisa dilakukan dengan beragam cara. Atau kita tentu ingat mengenai kisah gadis berusia 10 tahun Tilly Smith yang secara tidak langsung berhasil menyelamatkan ratusan orang dari bahaya tsunami di tahun 2004.

Ketika itu ia memperingatkan orang lain mengenai bahaya tsunami meski dinegaranya tak pernah ada tsunami. Lalu dari mana ia mengetahui tanda-tanda tsunami? Ternyata dia mengaku mengenali tanda-tanda tsunami setelah belajar tentang fenomena dalam pelajaran geografinya di sekolah, hanya beberapa pekan sebelum mengunjungi Thailand.

Rajib Shaw, Koichi Shiwaku, Yukiko Takeuchi dalam karya berjudul Disaster Education juga telah mengingatkan hal tersebut. Disebutkan bahwa selama ini diketahui bawah pendidikan memegang peranan penting dalam mengurangi jumlah korban dalam sebuah bencana. Seperti halnya kisah Tilly, berbagai pengalaman telah menunjukkan efek positif dari pendidikan dalam manajemen risiko bencana.

Sebelumnya, peneliti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ahmad Taufiq juga pernah mengatakan hal yang sama. Ketika diwawancara wartawan Republika, ia menyatakan  Indonesia bisa mencontoh Jepang yang bisa menghadapi bencana gempa, tsunami, topan, hingga banjir dengan beberapa cara. Salah satunya menerapkan kebijakan kurikulum pelajaran bencana sejak anak-anak di Jepang duduk di bangku taman kanak-kanak (TK).

Pria yang pernah menempuh studi doktor di Jepang itu menceritakan pengalamannya menjadi survivor dan pengungsi saat terjadi bencana gempa bumi 7 skala richter (SR) di Jepang. Selama dua bulan menjadi pengungsi di negara itu, Ahmad mengaku, melihat sendiri bagaimana Jepang sangat komprehensif menangani bencana, termasuk gempa dan tsunami.

Dikatakan Ahmad, Jepang yang sering terjadi gempa dan tsunami membuat negara ini memiliki kurikulum pelajaran bencana. Yaitu gempa, tsunami, gunung api, hingga banjir sejak bangku TK.

Di pelajaran itu, kata dia, murid-murid Jepang diajari pelatihan evakuasi bencana di kelas-kelas. Sehingga, begitu gempa skala besar hingga 7 SR mengguncang, masyarakatnya segera membawa tas dan menuju ke shelter dengan kondisi tenang.

Akhir kata, kita lahir, hidup dan mencintai tanah ini. Oleh karena itu, kita tak mungkin pindah dari nusantara meski keindahannya menyimpan bahaya laten bencana.

Penulis pun meminta para pemangku kepentingan perlu mencari resep tepat mencegah bertambahnya korban kala bencana. Sehingga tiap insan bisa menikmati indahnya negeri ini sambil siap siaga bila bencana datang.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement